Rabu, 02 November 2011

Di@ry (part one)


Ahad, 30 Oktober 2011
at my lovely home with blue heart J
“Pelajaran Istimewa”
Tetesan pertama untuk sebuah kata “kecewa”, andaikata “kecewa” itu yang mengalami kita, maka akan mudah bagi kita untuk cepat menyikapinya (benarkah?), akan tetapi “kecewa” ini membawa nama lembaga, membawa nama orang lain, sungguh mengharukan bagaimana harus mengelolanya menjadi sebuah “pelajaran istimewa”.
Berawal dari mata
Indahnya tatapmu
mengapa harus resah
Berawal dari kata
Indahnya sapamu
Mengapa harus gundah
(kahitna….)
Menghibur diri kenapa kita “jatuh cinta” pada anak – anak J.
“Maafkanlah Bunda anakku, karena mispersepsi Bunda engkau tak mampu membuktikan bahwa kau yang terbaik dalam lomba kali ini, tidak apa – apa, percayalah ada ‘takdir’ terbaik yang tengah menunggumu…. Bersabarlah dan terus asahlah potensimu, karena kau tak pernah tahu kemana ‘waktu’ akan membawamu J….”
Ya! Karena “kengototan” Bunda dalam mengartikan betapa luasnya cerita pengalaman anak, bukankah mendengar dongeng dan menceritakan kembali adalah bagian dari cerita pengalamanmu, namun ternyata sekali lagi ada “pakem bahasa” yang Bunda tak begitu menguasainya hingga harus berakhir “kecewa” bagi kita semua. Bunda berterimakasih atas penampilan terbaikmu, Bunda yakin kami semua “berhutang banyak padamu”, sebuah pelajaran istimewa J
Duhai anakku kemana resah ini akan membawaku?
“Bagaimana ini Bu Guru, anakku telah memberikan penampilan terbaiknya, tapi tak ada satu pun tropi penghargaan dibawanya?”
Wahaiiii…. Andai saja Bunda mampu memutar waktu, akan Bunda cari tahu detail petunjuk teknis penilaian lomba yang kau ikuti, hingga engkau mampu terus melaju (ataukah “ego” Bunda dan orangtuamu?). Astaghfirullohal ‘adhiiim….
Inilah curahan hati Bunda untukmu….
Lomba akan dimulai, hati Bunda berderap kencang saat melihatmu dan orangtuamu yang tengah menunggu, penuh harap dan penuh “rindu”. Bunda sangat tahu apa yang kau rasakan, Bunda pun masih sering mengalaminya, “rindu” untuk maju dan tampil menjadi pengendali suasana meski hanya sejenak untuk mengisi waktu.
Maka para juri pun memasuki ruangan, Bunda berusaha masuk, namun hanya sebagian peserta bernomor awal dan pendamping yang boleh masuk, maka mulailah Bunda “menguping”.
Petunjuk teknis dibacakan secara detail, dan remang – remang telinga Bunda menangkap, “…. Cerita adalah murni pengalaman anak, dengan bahasa anak – anak….”
Maka lemaslah seluruh persendian Bunda mendapati perkataan itu, Bunda berusaha jumawa, biarlah kita tak sesuai kriteria mereka tapi kita tetap memberikan yang terbaik yang kita bisa (ah, anakku… itu adalah usahamu….)
Bunda pun mendekatimu, “Nak, jangan berfikir tentang kalah atau menang, hanya berikan penampilan terbaikmu, Bunda yakin kamu bisa!”
Kamu pun mengangguk – angguk lucu, debur nafas Bunda semakin kencang berharap waktu segera berlalu dan menunjukkan “takdir” yang berlaku atasmu.
“Ibu…. Capek!” ujarmu mulai merengek pada orangtuamu.
Mereka pun menghiburmu, masih beberapa nomor lagi giliranmu, Bunda lihat kau begitu capek dan lesu, “Begitu selesai tampil Bunda akan memberikan hadiah untukmu, mau?”
Kau pun mengangguk – angguk senang, Bunda pun berusaha tenang di tengah rengekan zakki yang terus terusan meminta mainan.
Melihat zakki yang terus merengek, melihat wajahmu yang begitu capek, maka Bunda pun bergerak mencarikan mainan untuk zakki dan mainan pesananmu sebagai hadiah penampilanmu, setelah mendapatkan apa yang Bunda cari, Bunda pun kembali ke tempatmu.
“Lihat, hadiah untukmu sudah Bunda pegang, berikan yang terbaik ya sayang….”
Kulihat bintang berpendar, wajahmu bersinar dan kulihat semangatmu kembali “menyala”, masuk dalam ruangan, dan setelah beberapa nomor kau tampil dengan begitu “prima”, saying Bunda tak mampu menyaksikannya dengan sempurna.
Selesai tampil Bunda mulai memberikan pengertian pada orangtuamu….
Duhai anakku, apapun yang kita lakukan tak harus selalu dibayar “tropi” kemenangan, saat kau mampu menyelesaikan apa yang telah kau mulai, maka itulah hakiki-nya juara.
Dialog Bunda dengan Orangtuamu
“Putri Ibu telah memberikan yang terbaik, urusan menang kalah itu hak prerogatif juri yang juga menjadi “takdir” Alloh apakah nanti kita bisa ke Surabaya atau pun tidak J
“Tapi Bu, dari semua penampilan, putri saya yang terbaik, semua mengakuinya, jadi bagaimana mungkin dia bisa kalah?”
“Kalau kita pakai juri “potlot” mungkin kita bisa menang, tapi juri ini sudah ahli di bidang bahasa yang memiliki “pakem” sendiri yang saya pun tidak faham karena saya bukan ahlinya J.”
“Saya yakin kita pasti bisa ke Surabaya, Bu!”
“Insyaalloh! Jika takdirnya ke Surabaya kita pasti akan ke Surabaya J.”
“Dari segi apa anak saya bisa kalah, Bu?”
“Setiap lomba yang saya ikuti, saya hanya punya bekal berani tampil dan mencoba memberikan yang terbaik, urusan menang atau kalah bagi saya hanya efek samping saja. Sering saya tampil dan menurut para penonton penampilan saya yang terbaik, tetapi sering juga saya bertanya, kenapa saya tidak mendapat nomor sedikit pun? Dan sampai saat ini hal itu menjadikan perenungan saya J.”
“Insyaalloh menang, Bu!”
“Amiiin….” (dengan hati yang mengambang)
Pengumuman tiba, namamu taka da di urutan para juara. Oh anakku, tropi bukanlah segala – galanya, asal kau telah memberikan yang terbaik maka itulah juara sesungguhnya.
(Part one J)



Rumah Kami Rumah Surga


Rumah Kami, Rumah Surga

Pagi kembali bergegas, berkejaran dengan waktu, kusiapkan buah hatiku untuk ikut ‘sekolah’ bersamaku, menu sarapan hanya nasi putih dan ceplok telur menghias meja, aku mondar mandir mempersiapkan keperluan buah hatiku agar harinya cerah dan dia bisa sibuk dengan aktivitasnya selama aku melakukan tugasku sebagai ‘guru’ J.
Semua telah siap, kami  pun berangkat, wajah anakku begitu riang mengingat ia akan berjumpa dengan teman sebayanya di sekolah.
“Bunda, bagi Adi….” Ucapnya dengan cedal. Maklumlah anakku masih berusia 26 bulan J. Adi itu panggilan anakku untuk anak temanku yang bernama Adly. Aku mengangguk dan menuntunnya ke halaman depan rumah menunggu ayah mengeluarkan motor dari dalam garasi.
Ayah bergegas mengantar kami menuju tempatku mengabdikan diri di sebuah RA di desa tempatku dibesarkan. Sepanjang jalan anakku pasti akan berceloteh tentang apa saja yang menarik perhatiannya.
“Nda, Anis!” tunjuknya saat melihat sesosok tubuh juga tengah bergegas ke arah barat, kami pun berpapasan.
“Assalamu’alaikum Bik Anis,” sapaku.
“Sa…kum Anis!” teriak  anakku dengan ceria.
“Wa’alaikumsalam…. Hai Zakki!” balasnya menyapa anakku sambil melambaikan tangan.
“Duluan ya….” Pamitku saat motor kami melewatinya.
Senyumnya mengiringi kepergian kami, aku jadi merasa malu sendiri….
Seringnya aku meremehkan motor butut suamiku (padahal kendaraan itulah yang kami punyai untuk memudahkan mobilitas kami dalam segala urusan), melihatnya berjalan kaki menuju tempatnya mengais rizki-MU membuatku haru….
“Bunda…, napa?” Tanya Zakki.
“Bunda malu sama Alloh J” jawabku.
“Napa… napa….” Tanyanya mencari penegasan.
“Semoga kita mampu menjadi hamba-NYA yang senantiasa bersyukur, Nak….” Bisikku di telinganya sambil mendekapnya.
*****
Aku mengenalnya sejak aku kelas 1 SMA, kala itu dia diantarkan Ibunya untuk dititipkan di keluargaku.  Lahir di keluarga petani yang -menurut orang- miskin membuatnya menjadi seorang pekerja keras yang pantang menyerah. Aku sering mengamatinya, apa yang membuat dia senantiasa bersemangat menjalankan roda kehidupannya.
“Aduh Mbah, sakit semua….” Rintihnya saat mamaku mengoleskan krim luka bakar di punggungnya, tubuhnya penuh dengan bekas luka cambukan.
“Bapakmu kok tega banget sih!” tanyaku.
“Aku tidak mau dikawinkan Mbak, Bapak marah karena keinginannya kutolak, akhirnya Bapak memukulku dengan cambuk sapi – sapinya…. Ssshhh…. Sshhhh….” Terangnya sambil berusaha menahan agar rasa sakitnya tak berubah menjadi keluhan.
“Dewi, sudah! Nanti saja dilanjutkan obrolannya biar Anis istirahat dulu.” Cegah mama saat melihat mulutku hendak kembali terbuka.
Cambuk sapi  telah melecutnya menjadi ‘seseorang’ yang tak suka berkeluh kesah. Masih ada banyak hal diluar sana yang masih perlu untuk dikerjakan daripada sekedar ‘mengeluh’ karena ketidakmampuan kita akan sesuatu hal.
*****
Tanpa terasa, tiga tahun sudah Anis ikut di keluargaku, dia tumbuh menjadi wanita yang sangat rajin bekerja, terampil dalam kerjaan rumah tangga, dan juga pandai memasak dan membuat kue J, terima kasih buat mamaku tercinta yang selalu menularkan ilmunya pada kami anak – anaknya.
Di tahun ke-4, Ibunya datang dengan membawa kabar bahwa Anis sudah ‘diminta’ sama orang, dan orangtuanya meng-‘iya’-kan tanpa meminta persetujuan darinya, benar – benar kolot! Hebatnya, sebagai anak Anis tidak membantah, dalam waktu 10 hari setelah ‘permintaan’ itu maka pernikahan pun dilaksanakan. Anis pun menikah dan diboyong ke rumah suaminya, rasanya kehilangan sekali sebab lewat Anis aku belajar banyak hal tentang kehidupan yang ‘keras’ diluar sana. Tentang masa kecilnya, tentang masa remajanya, dan semua hal yang mengembangkan sikap untuk selalu ber-‘usaha’.
Anis pergi, namun aku masih sering menjenguknya, dia kini tinggal bersama mertuanya, menempati sebuah kamar sempit yang isinya hanya dipan dan meja. Kulihat dia tak kekurangan sesuatu apa, namun dari wajahnya sepertinya dia ‘menahan’ sesuatu yang membuatnya menjadi setegar batu karang.
Saat dia hamil aku sering terkejut saat menjenguknya, dia harus menjemur jagung jika panen jagung, gabah jika panen gabah, dan -lagi- hebatnya, dia kerjakan sendiri, saudara – saudaranya tidak ada satu pun yang menolongnya, hingga suatu ketika aku tercengang melihatnya berlarian kesana kemari dengan perut besarnya saat hujan tiba – tiba turun, akhirnya aku ikut membantunya membereskan jemuran   jagungnya -kala itu-, sekali lagi aku tak mendengarnya ‘berkeluh kesah’, hanya ucapan terimakasih saja yang keluar dari mulutnya.
Beberapa waktu berselang setelah kelahiran anaknya, kamarnya bergeser ke belakang, sebuah tempat yang -tepatnya- mirip kandang, dindingnya terbuat dari bambu yang sudah berlubang disana – sini, dan gentingnya yang juga gak layak, jikalau hujan maka air akan meluncur deras, hingga basahlah lantai tanahnya. Saat itu hanya ada tanya tanpa berusaha kutemukan jawabannya. Sekali lagi dia tidak ‘berkeluh kesah’ J.
Kondisi Anis yang seperti itu sering menjadi perbincangan di antara kami saudara – saudaranya. Namun sungguh kita hanya mampu membantu semampunya dan juga membantunya dengan do’a, bagaimana pun jika wanita telah menikah maka ia adalah hak dari suaminya.
Beberapa tahun kemudian Anis datang ke rumah dan meminta restu mama papaku dan juga seluruh keluarga jika dia akan ‘membuat rumah’ di tanah kosong pemberian Bapak mertuanya dengan modal 5 juta. Wow!
Dalam satu tahun rumah itu telah berdiri, Anis dan suaminya mencetak batu bata sendiri, mengangkut batu dari sungai dekat -calon rumahnya-, menimba pasirnya di sungai, dan Subhanalloh! Rumahnya berdiri dengan gagah meskipun ‘proyek’ Anis ditengahi cibiran keluarga suaminya. Anis tidak berhenti berusaha dan terus bersemangat menyelesaikan rumahnya.
Do’a dan usahanya didengar oleh Alloh, setelah berjuang cukup lama (1 tahun), Anis memaksa menempati rumahnya meski pun saat itu tanpa pintu dan jendela. Sekali lagi Wow!
Mempunyai rumah sendiri membuatnya tampak lebih damai daripada saat dia masih ikut bersama mertuanya. Aku senang melihatnya, namun tampaknya sekali lagi dia harus berjibaku dengan kehidupannya yang keras.
Setiap hari setelah selesai dengan tetek bengek pekerjaan rumah tangganya, ia pergi ‘nylimbeti’ kulit kayu di sebuah penggergajian dekat rumahnya, terkadang dibawa pulang, namun terkadang juga dijual kembali, semester kubik 30rb, itu-lah pendapatan hariannya.
Suaminya kadang bekerja, kadang juga membantu ibunya, jadi praktis mereka bahu membahu untuk menjalankan roda rumah tangga mereka. Suatu upaya yang sangat mem-’bangga’-kan kami sebagai keluarganya.
Setelah aku menikah dan kehamilanku sering memaksaku beristirahat total, akhirnya aku pun meminta bantuannya untuk meringankan beban pekerjaan rumah tanggaku, mulailah kedekatan kami kembali terjalin, dan betapa banyak pelajaran yang kudapatkan dari selingan cerita – cerita saat dia membantuku mengerjakan tugas – tugas rumah tangga.
*****
“Sewaktu aku masuk dalam keluarga suamiku, aku sangat diremehkan Mbak, karena keluargaku miskin, rumahku berdinding sesek, dan semua itu berakibat pada perlakuan beda yang kuterima.” Ceritanya.
“Berbeda bagaimana?” tanyaku.
“Semua pekerjaan berat adalah tugasku, tidak ada seorang pun yang mau membantu, layaknya aku ini bukan menantu melainkan ‘babu’…, sedih Mbak jika aku mengingat itu semua.”
“Suamimu tahu?”
“Tidak pernah!”
“Kenapa?”
“Aku tak pernah menceritakan setiap kejadian yang kualami padanya….”
“Bukannya mestinya kamu bercerita pada suamimu?”
“Mana mungkin dia percaya! Sampai dia lihat sendiri buktinya!”
“Masyaalloh!”
“Dia baru merasa ‘heran’ saat kami digusur pindah ke kamar belakang dekat dapur yang berdinding sesek, gentingnya bocor semua, namun kami saat itu masih saling diam.”
“Maksudnya?”
“Kami tak pernah memperbincangkan kenapa semua itu terjadi L.”
“Astaghfirullohal ‘adhiiim…. Mertua perempuanmu memang sungguh terlalu!”
“Itu belum seberapa Mbak, saat beras kami hamper habis, Mak sama sekali tidak mau tahu, padahal kami bekerja keras untuknya….”
“Lalu kalian?”
“Aku puasa 3 hari dengan buka sahur air putih, beras terakhir kuhemat hanya untuk anakku….”
Ah, hati ini terasa ngilu mendengarnya, aku biasa main buang masakan seenaknya jika sudah sisa kemarin…. Astaghfirullohal’adhiiim….
“Yang paling menyakitkanku, setiap kali Mak menyuruhku melakukan sesuatu maka dia selalu bilang, hidup itu tidak ada yang gratis, semuanya ada harganya…. Tapi aku bersyukur Mbak karena itu semua hanya masa lalu.”
“Kamu tidak menyesal?”
“Apanya yang harus kusesali Mbak? Alloh sudah menggariskan semua itu terjadi padaku, sebagai hamba aku harus menerimanya dengan lapang dada. Aku bersyukur karena aku memiliki suami yang sabar dan bisa diajak berbagi dalam segala hal. Apalagi setelah dia tahu Mak-nya yang ‘semena – mena’ terhadapku dan anaknya. Dia menjadi pelindung yang baik buat kami, jadi apanya yang harus kusesali Mbak?
Apanya yang harus kusesali? Satu pertanyaan yang menancap dalam hatiku. Satu hal yang harus selalu ditanyakan agar kita selalu memijak bumi dan mampu mensyukuri segenap pemberian Ilahi Robbi. Satu pelajaran baru kupetik dengan kebersamaannya denganku.
*****
“ Tahu nggak Mbak, waktu aku dan suamiku memutuskan untuk membuat rumah hanya dengan modal 5 juta, semua saudaranya mentertawakan kami, mereka bilang mana mungkin hanya dengan 5 juta rumah kami akan berdiri,” ungkapnya sambil menahan tawa.
“Diremehkan begitu apa yang kamu lakukan?” tanyaku.
“Bismillahirrohmanirrohiiim, Gusti Alloh nggak mungkin ‘merem’ Mbak! Aku dan suamiku bermusyawarah dan nekad berangkat dengan uang itu.”
“Terus?”
“Alhamdulillah Mbak, aku dan suamiku sepakat, untuk menghemat uang kami harus mencari bahan bangunan yang tidak mengeluarkan biaya. Kami terjun ke sungai, mengangkut batu – batu kali ke lahan kami, sampai cukup untuk membuat pondasi.” Terangnya.
“Subhanalloh, terus?” tanyaku penasaran.
“Setelah kami rasa cukup, maka kami pun mulai ‘nduduk’ pondasi bersama dengan bantuan beberapa tukang, kami bisa menghemat biaya banyak sekali.”
“Orang kampung tidak protes?”
“Mereka bahkan berterimakasih karena batu kali yang kami ambil membuat sungai tempat mereka mencuci baju semakin luas J
“Oh, ya?”
“Pondasi selesai, sambil ‘ngebong boto’ kami terus mencari pasir di sungai hingga kami dapat mengangkut pasir sungai kurang lebih 2 truk!”
Ck ck ck! Aku membayangkannya mengangkat pasir berkarung – karung dari sungai menuju rumahnya.  Betul – betul perempuan perkasa.
“Karena kami juga membuat batu bata sendiri, sekali lagi kami menghemat jutaan rupiah.”
“Hmmmhhh….”
“Akhirnya rumah kami berdiri, saat kami memikirkan cara untuk menyiapkan ‘kuda -  kuda’ untuk atap, Bapakku yang petani miskin datang dengan membawa kayu jati yang bisa kugunakan untuk atap rumah. Alhamdulillah Mbak, meskipun Bapak orang yang keras, namun beliau masih sangat memperhatikan anaknya….” Ucapan Anis menggantung.
“Akhirnya selesai juga rumahmu dan kamu bisa ‘berbangga hati’ karena telah bekerja keras untuk mewujudkannya, bukan begitu?” ujarku menyimpulkan ceritanya.
Anis tersenyum, senyuman lega yang membahagiakan siapa pun yang melihatnya. Sekali lagi aku harus malu padanya dan keteguhannya. Membayangkannya yang hanya lulusan SD namun mempunyai begitu banyak kecerdasan dan keterampilan hidup yang memukau, subhanalloh!
Anis sungguh bisa bertahan bahkan membuat segala keterbatasannya menjadi tantangan, dia sangat cerdas memanfaatkan alam sekitar untuk membantunya mewujudkan mimpi, memiliki rumah sendiri yang nyaman dan aman untuk ditinggali oleh keluarganya, dan yang pasti dia ‘terbebas’ dari penguasaan mertuanya terhadap hidup dan kehidupannya.
Sungguh, aku bersyukur karena rumah kami adalah rumah surge, rumah yang dipenuhi keindahan akan kasih sayang dan juga tempat kami senantiasa mengingat betapa bersyukurnya kami akan semua karunia Alloh SWT.

Kamis, 06 Oktober 2011

Ada Cinta di Sudut Matanya....

Kamis, 9 Juni 2011
My lovely school ^_^
Sudah lama muridku satu ini tak bermasalah (dalam artian yang “terlalu”), ketika dulu aku menemukannya suka mengambil cutter di meja guru saat bu guru sedang lengah dan memain-mainkannya di pergelangan tangan, suka mengambil gunting saat semua temannya sibuk dengan permainan dan pekerjaan yang harus mereka selesaikan, sibuk menggunting jari – jarinya yang tak sempurna sambil sesekali kudengar rintihannya, “lebih baik mati saja!”.
Kemudian dengan hati – hati aku merayunya, mengatakan betapa dia terlahir istimewa dan masih banyak kalimat positif yang kusuntikkan padanya hingga dia menyerahkan segala bentuk sajam di tangannya padaku, dengan lega kupeluk anakku itu dengan cinta. Ah, Alloh memang MAHA SEMPURNA!
Setahun dia bersamaku di kelompok A, selalu dan selalu kukatakan padanya, “Bu Guru ada buat mas, dan kapan pun mas ingin bicara, bilang sama bu guru! Bu guru akan meluangkan waktu, ok!” Menurutku, dia berusaha “sembuh”, kulihat di kelompok B meski tidak terlalu nurut, dia juga tak “keterlaluan” menggoda guru – guru kelompok B, maka aku pun mulai melepasnya sambil sesekali memanggilnya, menanyai kesiapannya masuk SD dan juga tentang perasaan demi perasaan yang dialaminya, maka kulihat dia masih dalam taraf “nakal” biasa…. Ya iyalah, mana ada anak kecil tidak nakal ^_*
Hingga…. Terdengar suara anak perempuan menangis di kelompok B, bergegas aku masuk membantu guru kelompok B yang sendirian karena salah seorang rekan sedang tugas keluar. “Ada apa?” “Tangan Fitri berdarah di cutter sama Jayeng!” Aku terperangah, melihat sosok nama tertuduh duduk di bangkunya dengan pandangan bersalah dan ancang – ancang membela dirinya, sementara rekanku sibuk menjadi petugas P3K, aku mengkondisikan anak – anak agar kembali sibuk dengan pekerjaannya, maka anak – anak pun kembali sibuk sambil sesekali bersuara menyerang tertuduh.
Aku pun mendekatinya, kulihat dia ber-“jaga” hendak membela dirinya. Maka kulempar senyum berusaha maklum dengan perasaannya, dan mulai mengajaknya berdialog, “Boleh Bu Guru Tanya sesuatu?” Dan anak itu pun menggelengkan kepalanya kuat – kuat.
“Bu Guru tak hendak menghukummu sampai Bu Guru tahu jelas duduk perkaranya apa. Bisa cerita sama Bu Guru?” Dia kembali menggeleng – gelengkan kepalanya. “Baiklah, Bu Guru tak akan memaksa, nanti kalau sudah siap mengobrol, panggil Bu Guru, ya?!”
Kulihat anak yang terluka tangannya dan mulai menilai, memang hanya luka biasa, seperti luka teriris tanpa sengaja, hanya ini unsur “sengaja” yang memberatkan kedudukan si tertuduh. Aiiiih…. Nak?! Mulailah rekanku bercerita dalam dua minggu ini si “mas” berulah dengan banyak cara, mulai “menghilang” saat istirahat, dan juga pekerjaan yang terbengkalai, hmmmmhhh….
Sekali lagi aku mendekatinya, “Kalau siap bicara, panggil Bu Guru di kelas sebelah ya?” Dia mengangguk cepat dan aku pun masuk kembali ke kelas sebelah. Persiapan pulang untuk kelompok A, aku pun mulai sibuk menyiapkan “hadiah” cinta untuk anak – anak yang “juara” hari itu, dan si “mas” memanggilku. “Bu Guru!” Aku menoleh menyambut tangannya dan mengajaknya masuk kantor, maka kami pun duduk melantai dan mulai membuka suara .
“Mas, sudah siap dengan pertanyaan Bu Guru?” Ada pandang mata “takut”, namun kembali kutegaskan, “Bu Guru cuma mau tanya saja kok!” Dia mengangguk dengan senyum kecut.
“Boleh Bu Guru tau apa yang terjadi sebenarnya?”
“Fitri tadi menendangku lebih dahulu! Terus aku balas saja pakai cutter di tanganku!”
“Membela diri?” Dan dia pun mengangguk!
“Apa yang membuat mas harus begitu? Kan ada cara lain untuk menegurnya?”
Dia menatapku tajam, aku melihat ada bendungan yang dibangunnya dengan sekuat tenaga, ada “pertahanan” yang tak boleh ditembus sembarangan, maka aku pun mulai menyelami perasaannya.
Kutatap lekat – lekat matanya, kuraih tangannya dan mulai berkata, “Mas takut?” Dan dia mengangguk, “Mas cemas?” Kembali dia mengangguk, “Mas gelisah karena sebentar lagi harus masuk sekolah baru yang semua serba baru, dan mas merasa terancam karena keberadaan mas?”
Ada bendungan baru terbangun saat dia mengangguk – anggukkan kepalanya.
Aduh, Nak! Betapa kami semua lalai pada kondisi “psikologis”-mu? “Boleh Bu Guru tahu kenapa?” Dihulurkan kedua tangannya padaku, “Ini!” Kuamati dua tangan yang terulur di depanku, jari – jari yang “tak sempurna” (di mata kita), jari – jari yang pendek tak berkuku, aku tersenyum pedih.
“Karena Mas berbeda?” tebakku. Anggukannya semakin cepat, dan kulihat setetes airmata meluncur ke pipinya.
Hmmmmhhh….
“Mas tahu, itu semua karena mas istimewa! Meskipun menurut oranglain mas berbeda, mas istimewa di mata mama, di mata Bu Guru, dan yang pasti Alloh menciptakan mas ke dunia ada manfa’atnya….”
Dan anak usia 6 tahun di depanku mengangguk – anggukkan kepalanya sambil ikutan mendesiskan kata manfa’at.
Sejak pertama mengenalnya, aku tahu dia anak yang istimewa, setidaknya dibalik fisik yang kurang sempurna (di mata kita), dia anak yang bisa diajak berdialog tentang banyaak hal, menggali perasaannya, menanamkan penerimaan atas keadaannya, menumbuhkan kepercayaan dirinya, dan pada akhirnya menjadikan diri sebagai temannya untuk berbagi apa saja.
Ya! Dengan begitu, aku berharap “dampak negative” terhadap psikologisnya dapat dikurangi perlahan – lahan.
Maka berdialoglah kami tentang etika berteman, dan segala perbuatan baik dan buruk yang harus diketahui dan dipahami agar tidak salah dalam pengamalan sehari – hari, maka dengan kutemani si “mas” menemui temannya tadi dan meminta ma’af atas kesalahannya.
Dan ternyata benar, bahwa anak perempuan itu yang telah menendangnya lebih dulu hanya karena si mas menggodanya….
Allohu Akbar!!! Sampaikan kami pada kepahaman ya ILAHI, amiiin….
Maka kulihat mendung itu pun sirna berganti senyum hingga acara pelepasan tiba .

Sabtu, 30 April 2011

Part of Journey


Dongeng, Sebuah Dunia Tanpa Batas

Hari Kartini baru saja usai diperingati dimana - mana, begitu meriah dan menyenangkan. Begitu juga dengan kegiatan yang dijadikan event tahunan di MIN Druju Sumbermanjing Kabupaten Malang. Ada banyak even yang terselenggara dalam satu hari yang penuh dengan keceriaan. Mulai dari mewarna untuk anak TK, fashion show, bazaar makanan yang diselenggarakan di tiap kelas, dan juga mendongeng dengan pendongeng yang dipercayakan pada saya dalam DORA (Dongeng Bersama Bunda Mora).
Jadilah pada hari Kartini (Kamis, 21 April 2011) yang berbahagia saya meluncur menuju Sumbermanjing untuk sebuah cinta berbagi cerita.
Suasana yang riuh karena begitu pengunjung yang begitu antusias, saya mulai menempatkan diri, satu dua anak tersenyum melihat saya (Hmmmh...., rasanya luar biasa! terakhir kali saat hamil 7 bulan saya memandu acara perpisahan di TK Muslimat NU 21 Kota Malang). Rindu berbuncah untuk sebuah kesempatan yang lama kusimpan dalam angan ^_^.
Melihat begitu banyak anak TK Islam sama TK Rejeni (maaf seumpama salah tulis), dan juga anak - anak MIN Druju yang berada di aula, acara dimulai dengan dibuka oleh Bapak Kepala MIN Druju, sungguh suatu harapan yang sangat indah untuk sebuah kemajuan sistem pendidikan khususnya di daerah Druju. Umumnya Kabupaten Malang.
Setelah pembukaan dimulai, mulailah Bunda Mora beraksi, menstimulir konsentrasi agar anak - anak memperhatikan apa yang akan diceritakan oleh Bunda, maka mulailah dongeng disajikan dengan interaktif, ada banyak celoteh, sapa, dan lagu, dan sedikit tips  menggambar “KARTINI” ala program televisi.
Alhamdulillah, sampai pukul 11 acara mendongeng selesai, kembali meluncur dengan roda dua kembali ke Singosari.
Semoga MIN DRUJU jaya selalu dan mampu mencetak generasi bangsa yang berkualitas jasmani n rohani ^_^.






Minggu, 17 April 2011

curahan hati

Mulai menata diri kembali untuk sebuah "hal" yang lebih baik, berbagi melalui tulisan adalah salah satu jawaban, benar bukan? cek http://www.rayakultura.net/2011/04/lmcr-ke-6-tahun-2011-lomba-menulis-fiksi-paling-bergengsi/

Selasa, 15 Maret 2011

Persahabatan "KUPU dan KUPI"





Mendongeng

“KUPU dan KUPI”



Ditulis untuk Lomba dongeng IGTKM
Diceritakan oleh :
Dewi Mora Rizkiana, S.TP


IGTKM KECAMATAN SINGOSARI
MARET
2009




Assalamu’alaikuuum wa rohmatullohi wa barokatuh!

Apa kabar sayang? Bu Guru tahu kalian semua adalah juara, kalian adalah anak yang hebat karena kalian suka berteman atau bertengkar? Hebat, suka berteman! Suka menolong atau suka berebut? Hebat, kalian suka menolong?! Memang begitu ciri – ciri anak yang solih dan solihah. Apa kabar juara? (Alhamdulillah Subhanalloh Luar biasa Allohu Akbar! YESS!!!)

Aduh, kok masih ada yang belum mau membuka mulutnya? Malu karena lupa menggosok gigi ya? Ooh, semua sudah gosok gigi? Kalau begitu pertanyaang bu guru dijawab dengan semangat, ya? Apa kabar juara? (Alhamdulillah Subhanalloh Luar biasa Allohu Akbar! YESS!!!)

Hebat!!! Tepuk ceria….. horrreeeeee! Tepuk ceriaaaaaa…. Horrreeeee!

Bu Guru punya tebakan, dengarkan baik – baik ya?

(gubahan Aku seorang kapiten)
Aku menetas dari telur
Tubuhku panjang dan berbulu
Setelah bertapa
La la la!
Bisa terbang kemana saja!

Ayo tebak siapa? Ehm, belum ada yang tahu? Bingung? Bu guru kasih tahu huruf depannya, K! masih belum tahu juga? Ok, huruf keduanya U! jadi, K-U dibaca KU…. Iya, betul, Kupu – kupu.

Semua berdiri, tirukan Bu Guru.

Yel – yel Kupu – kupu
Aku adalah kupu
Binatang baik dan ayu
Makhluk yang suka membantu
Penyerbukan bunga – bungaku
Sambil menikmati madu
Kulakukan tugasku
Hinggap!
Hisap!
Terbanga!
Horeeeeeee!!!!!

Hebat!!! Tepuk ceria….. horrreeeeee! Tepuk ceriaaaaaa…. Horrreeeee!


Balapan duduk! Ya, bagus! Sudah siap mendengarkan dongeng Bu Guru yang berjudul :


Kupu dan Kupi

Di sebuah taman yang indah, tumbuhlah bunga berwarna – warni yang sangat menarik hati, siapapun yang melihatnya pasti merasa suka dan bahagia. Pssst…, ada yang mau kenalan dengan kalian.

TEKU                         : “Assalamu’alaikum, namaku TEKU alias telur kupu – kupu
ULMA                        : “ Aku ULMA, alias ulat pertama”
ULA                            : “Kalau aku ULA, ulat kedua”
Kepompong                : “Aku kepompong, aku tidak banyak omong karena aku harus menyelesaikan tugasku.”
KUPU                         : “Aku Kupu, kalian pasti suka denganku, karena aku baik hati dan suka membantu.”
KUPI                          : “Kalau aku KUPI, aku akan berteman dengan kalian, tapi nanti.”

Oke sayang, sudah siap? Tepuk ceriaaaaaa…. Horrreeeee!

Seeekor kupu – kupu tengah terbang berkeliling di taman bunga, di sehelai daun yang menghijau, dia melihat sekelompok telur yang tengah bercengkrama, salah satu telur itu melihat kehadirannya dan menyapanya.

“Assalamu’alaikum!”
“ Wa’alaikumsalam!
“Hei! Subhanalloh siapakah engkau? Betapa cantiknya dirimu!”
“Alhamdulillah, ini semua anugerah dari Alloh! Namaku KUPU. Kamu telur bukan?”
“Ya! Namaku TEKU. Aku ingin sekali secantik dirimu!
“ Kau bisa secantik aku, asal kau sabar menunggu proses perubahan dirimu.”
“Aku? Berubah? Maksudmu?”
“ Kamu akan ber-metamorfosa,”
“Metamorfosa? Apa itu?”
“orang bilang berubah dari satu bentuk ke bentuk lain.”
“Kapankah itu?” Tanya sang telur.
“Bersabarlah! Kau pasti akan mengalaminya. Dan aku, aku akan setia menjengukmu! Karena aku menyayangi semua makhluk ciptaan Alloh.”
“Wah, betapa baiknya dirimu.”
“Ah, tidak, aku hanya mengamalkan hadits nabi yang berbunyi, ‘Man la yarham la yurham – siapa yang tidak saying tidak akan disayang’.”
“Subhanalloh budimu sungguh canti secantik paras wajahmu.”
“Terima kasih, aku pergi dulu ya.”
“Sampai jumpa…”

Beberapa waktu berlalu, si Kupu datang lagi dan tak lagi menjumpai si TEKU, tapi dia melihat seekor ulat yang tengah memakan daun.

“Assalamu’alaikum,” sapa si Kupu.
“Wa’alaikumsalam,” sahut si ulat.
“Masih ingat denganku? Aku KUPU, apakah kamu TEKU sahabatku yang dulu?”
“Ya! Sekarang aku adalah ULMA. Tentu aku selalu ingat padamu, karena aku sangat ingin sepertimu….”
“Apakah kau suka dengan dirimu sekarang?”
“Alhamdulillah! Aku bersyukur pada Alloh karena aku bisa makan daun sebanyak kusuka, lihatlah tubuhku, gemuk bukan?! Tapi…..”
“Tapi apa?”
“Aku masih ingin sepertimu, bisa terbang kemana kusuka dan bertubuh indah!”
“Bersabarlah! Insyaalloh waktu itu akan segera tiba. Aku pergi dulu, lain kali aku akan menjengukmu, sampai jumpa….”

Kupu – kupu yang lucu
Kemana engkau terbang
Hilir mudik mencari
Bunga – bunga yang kembang
Berayun – ayun
Pada tangkai yang lemah
Tidakkah sayapmu
Merasa lelah

Si Kupu kembali menjenguk sahabatnya si ULMA, ternyata dia tidak lagi menemukannya, dilihatnya, sebuah kepompong menggantung dengan tenangnya di daun hunian si ulat.

“Assalamu’alaikum.” Sapa si kupu. Tak ada jawaban
“Assalamu’alaikuuuuuuuuuummmm……” Teriaknya sekali lagi.

“Wa’alaikumsalam!” satu suara menyahut, tapi bukan si kepompong. Seekor ulat kecil tengah merayap dari bawah daun, “Jangan kau ganggu dia! Dia tengah bertapa, kau tidak ingin merusaknya, kan?”

“Tentu! Kamu siapa?”
“Aku ULA, aku teman yang akan menjaganya sampai selesai pertapaannya.”
“Baiklah, aku akan pergi dulu, sampaikan salamku padanya ya…. Daaa!”

Si Kupu pun terbang kesana kemari meninggalkan si kepompong dan ulat kecil temannya yang baru.

Tibalah waktu yang ditunggu, kepompong itu terbuka dan lahirlah si Kupi. Kupi terbang dengan perasaan sangat bahagia. Dia terbang kesana kemari hingga bertemulah ia dengan si Kupu.

“Assalamu’alaikum! Masihkah kau ingat padaku?”
“Wa’alaikumsalam, memangnya kamu siapa?” Tanya si Kupu.
“Coba tebaklah!”
“Apakah kamu telur yang dulu menyapaku?”
“Iya! Sekarang namaku adalah Kupi!
“Subhanalloh! Kau indah sekali!”
“Alhamdulillah Alloh memberiku kesempatan untuk berubah menjadi binatang secantik dirimu.Terimakasih atas pujianmu!”

“Aku jadi ingat sebuah hadits yang berbunyi ‘Innalloha jamilun yuhibbu jamalah – sesungguhnya Alloh itu indah dan menyukai keindahan’….”

“Wah, kamu benar – benar makhluk yang solih.”
“Terimakasih! Oke KUPI! Selamat datang di taman bunga ini, mari aku tunjukkan bunga – bunga nan cantik padamu agar kau mengenal mereka satu per satu.”
“Betapa baik budimu Kupu?”
“Bukankah sesama teman harus tolong menolong?”
“Tentu!”
“Seperti bunyi hadits ‘Kullu ma’ruufin sodakoh – setiap kebaikan adalah sedekah’.”

Dengan tertawa ceria, KUPU dan KUPI terbang beriringan mengelilingi taman bunga.

Lihat kebunku penuh dengan bunga
Ada yang putih dan ada yang merah
Setiap hari kusiram semua
Mawar melati
Semuanya indah

Sekarang Bu Guru Tanya, “Siapa yang suka menolong teman? Hwadduh! Semuanya ya? Kalian memang anak – anak yang soleh!”


Tepuk kupu – kupu
K *** U *** P *** U *** K *** U *** P *** U *** Kupu – kupu! *** Telur – telur! *** Ulat – ulat! *** Kepompong! *** Kupu – kupu! *** Kasihan deh lu! 2x

Nah, anak – anak! Karena tiba waktu Bu Guru lain menemani kalian, maka Bu Guru pamit dulu yaa….

Wassalamu’alaikum warohmatullohi wa barokatuh! Sampai jumpa…..

Dongeng ini disajikan dengan tujuan :
  1. Menanamkan nilai kesabaran untuk meraih cita – cita atau tujuan hidup pada anak.
  2. Memberi contoh kepada anak untuk selalu mengucap salam jika bertemu dengan saudara seiman
  3. Memberi contoh kapan dan bagaimana mengucap kalimat thoyyibah
  4. Menanamkan nilai untuk saling menyayangi sesame dengan kutipan hadits ‘Man la yarham la yurham – siapa yang tidak saying tidak akan disayang’
  5. Menanamkan sikap untuk selalu menghargai orang lain dengan kutipan hadits ‘Innalloha jamilun yuhibbu jamalah – sesungguhnya Alloh itu indah dan menyukai keindahan’
  6. Menanamkan sikap untuk selalu berbuat baik kepada sesame dengan kutipan hadits ‘Kullu ma’ruufin sodakoh – setiap kebaikan adalah sedekah’
  7. Memberi contoh kepada anak bahwa persahabatan itu menyenangkan
  8. Memberi kesempatan kepada anak untuk menilai sifat – sifat tokoh yang mereka sukai dan akhirnya –tanpa sadar- mematri dalam memori mereka.
  9. mengajak anak bersenang – senang dalam tiap sisipan cerita.

Dongeng "Aku Senang Sekolah"




MENDONGENG


“AKU SENANG SEKOLAH”

Ditulis untuk Lomba Dongeng IGRA
Dalam Rangka HAB (Hari Amal Bakti)
DEPAG ke-63

Dikarang oleh :
Dewi Mora Rizkiana, S.TP
(Pengajar RA. AL-BAITUL MU’MININ Singosari)



IGRA KABUPATEN MALANG

NOVEMBER

2008

Dongeng ini sengaja dibuat dengan tujuan :

  1. Menanamkan kecintaan anak – anak terhadap sekolah, karena sekolah itu menyenangkan.
  2. Memberi contoh kepada anak untuk selalu mengucap salam jika bertemu dengan saudara seiman.
  3. Memberi contoh kapan dan bagaimana mengucapkan kalimat Thoyyibah.
  4. Menanamkan nilai untuk selalu menyayangi sesama dengan kutipan hadits “Man la yarham la yurham, siapa yang tidak sayang tidak akan disayang….”
  5. Menanamkan sikap untuk selalu menghargai orang lain bagaimanapun rupanya dengan kutipan hadits “Innalloha jamilun yuhibbu jamalah bahwa Alloh itu indah dan menyukai keindahan.”
  6. Menanamkan sikap untuk selalu berbuat baik pada sesama dengan kutipan hadits “-‘kullu ma’ruufin shodaqoh’ – setiap kebaikan adalah sedekah!
  7. Memberi contoh kepada anak bahwa persahabatan itu menyenangkan.
  8. Memberi kesempatan pada anak untuk menilai sifat – sifat tokoh yang mereka sukai dan pada akhirnya –tanpa sadar- mematri dalam memori mereka untuk mencontoh nilai – nilai yang mereka sukai.
  9. Mengajak anak bersenang – senang dalam tiap sisipan cerita.

Assalamu’alaikum wa rohmatullohi wa baarokatuh!

Apa kabar anak – anak? Bu Guru tahu kalian semua adalah juara! Anak yang hebat! Sekali lagi, apa kabar juara? (Alhamdulillah, subhanalloh, luar biasa, Allohu Akbar! Yess!!!)

Lho! Lho lho! Kok masih ada yang belum mau membuka mulutnya? Malu karena tidak gosok gigi ya? Oooh, semua sudah gosok gigi? Kalau begitu coba dijawab dengan semangat, apa kabar juara? (Alhamdulillah, subhanalloh, luar biasa, Allohu Akbar! Yess!!!)

Nah, begitu dong! Bu Guru bangga pada kalian. Sebelum bu guru mulai boleh gak bu guru bertanya pada kalian? Boleh? Oke

Siapa – siapa yang senang sekolah?
Yang senang sekolah coba angkat tangannya
Siapa – siapa yang senang sekolah?
Yang senang sekolah ayo kita tertawa, haha!                     2x

Semua berdiri, ayo berlari! Eh, di tempat saja! Sekarang ikuti bu guru yaa….


Lagu pembuka

Aku Senang sekolah
(gubahan aku seorang kapiten)

Aku senang sekolah
Bermain belajar gembira
Kalau aku besar
BIG BIG BIG! BIGGER!
Pasti jadi orang berguna! Hore! 2x

Tepuk ceriaaaaa…. Hore! Tepuk ceria…. Hore!


Yel - Yel Anak Indonesia

Aku anak Indonesia                                   (dua jempol menunjuk dada)
Sehat                                   (2 tangan dikepal ke arah samping badan)
Cerdas                         (2 telunjuk menunjuk kepala dari arah samping)
Ceria      ( 2 telunjuk diputar di samping bibir sambil bibir tersenyum)
Belajar                                                     (pura – pura membaca buku)
Bermain                                                                      (lari di tempat)
Bersama   (2 tangan dikatupkan ke depan seperti orang bergandengan)
Di sekolah kita tercinta                  (2 telunjuk membuat bentuk hati)
RA Muslimat Indonesia (tangan kanan mengepal sambil diacung – acungkan)
Yeah!                                                          (melompat sambil tertawa)

Balapan duduk! Ya bagus! Sudah siap mendengarkan dongeng bu guru yang berjudul :

Aku Senang Sekolah

Tahun ajaran baru telah tiba, penghuni hutan “TENTERAM” begitu sibuk dengan persiapan sekolah buat anak – anak mereka, ada keluarga ayam yang akan menghantarkan anak bungsunya ACIL (Ayam Kecil) masuk ke sekolah TK, begitu pula keluarga bebek dengan si buncit BENI (Bebek Mini) yang akan masuk satu sekolah dengan si ACIL. Tak ketinggalan keluarga kambing dengan putra sulungnya si DOMBI.

Anak – anak ada yang mau kenalan dengan kalian.

ACIL           : U’u’i’uuuk! Assalamu’alaikum…. Namaku ACIL… alias Ayam kecil

Tepuk Ayam!

A*** y***a***m*** Ayam!*** U’u’i’uuuk*** U’u’i’uuuk U’u’i’uuuk!

BENI           : Kwek! Kwek! Kwek! Assalamu’alaikum…. Namaku BENI
  alias bebek mini

Tepuk Bebek!

B***e***b***e***k! bebek!*** Kwek kwek kwek!*** Kwek kwek!*** Kweeek!

DOMBI        : Mbeeek! Assalamu’alaikum…. Namaku DOMBI… alias domba biasa

Tepuk Domba
D***o***m***b***a*** Domba!*** Embek embek!*** Embeeeeek!

Di Rumah ACIL
“Assalamu’alaikum….kwek!”
“Wa’alaikumussalam warohmatulloh… U’u’I’uuuk!”
ACIL membuka pintu buat BENI sahabatnya. Keduanya saling tersenyum saat pintu telah terbuka.
“Masuk Ben, ada kabar apa kau kemari?”
“Kwek! Kwek kwek! Kata ayahku besok tidak bisa mengantarku sekolah karena Ayah dinas keluar kota, jadi aku ingin minta ijin padamu biar kita besok bisa berangkat sama – sama, bisa?”
“Insyaalloh bisa! Tenang saja!”
“Alhamdulillah, aku sudah cemas tadi karena semua kakakku juga sibuk, mereka kan juga harus kembali sekolah….”
“Sama, kakak – kakakku juga, syukurnya Ibu bilang kalau seminggu ini Insyaalloh Ibu mau mengantarku. Biar kamu lega kutanyakan dulu ya pada Ibuku?”
“Baiklah, aku tunggu….”
Acil pun masuk ke ruang dalam, dia menjumpai Ibu yang masih sibuk merajut sweater untuk dikenakan Acil pergi sekolah. Hal itu dikarenakan musimnya lagi musim angin yang dingin, Ibu takut nanti Acil Asmanya kambuh!
“U’u’I’uuuk…. Bu….”
Ada apa Cil?”
“Bisakah Beni berangkat ke sekolah bersama – sama dengan kita, Bu?”
“Tentu saja boleh! Memangnya kenapa, Nak?”
“Beni sekarang ada di ruang tamu, dia bilang Ayahnya harus dinas keluar kota, jadi dia tidak ada yang mengantar, Ibu tau kan kalau Ibunya Beni juga harus dinas di rumah sakit daerah, dan itu berangkatnya pagi – pagi sekali!”
Sang Ibu tersenyum mendengarkan penjelasan Acil.
“Iya, Cil! Ibu tahu itu…, tapi Ibu bangga sekali pada Acil yang selalu berbuat baik untuk teman, pertahankan itu ya Nak, karena tak semua orang mampu melahirkan niat baik dalam perbuatan baik.”
“Maksud Ibu apa?”
 “Maksud Ibu, banyak orang yang punya niat baik, tapi pelaksanaannya seringkali kurang pas, jadi pada akhirnya hasilnya juga buruk!”
“Apa itu berarti Acil harus baik sama semua teman baru Acil, Bu?”
“Tentu saja!”
“Bagaimana kalau mereka nakal sama Acil, Bu?”
“Semua anak pada dasarnya baik, hanya saja karena mereka belum tahu cara yang tepat untuk berkenalan dengan teman baru mereka, makanya ada sebagian dari mereka yang suka mengolok, mengusili teman, dan juga mendiamkan teman.”
“Berarti Acil harus bagaimana, Bu?”
“Acil harus menyayangi mereka seperti Acil menyayangi diri Acil sendiri….”
J Acil jadi ingat hadits kasih sayang, Bu….”
“Gimana coba bunyinya?”
Man la yarham la yurham, siapa yang tidak sayang tidak akan disayang….”
“Subhanalloh! Putra Ibu memang hebat! Ibu percaya Acil pasti mampu untuk selalu berbuat baik….”
“Terima kasih Bu!”
“Ayo kita lihat Beni di ruang depan…. Eh, sudah kamu ambilkan minum belum?”
“Astaghfirulloh, Acil lupa….”
Dengan bergegas Acil lari ke dapur untuk membuatkan minum Beni, sementara Ibu beranjak dari tempat duduknya ke ruang tamu untuk menemui Beni.
“Assalamu’alaikum Beni….”
“Wa’alaikumussalam wa rohmatulloh….”
“Ibu senang Beni bareng kita mulai besok, tapi hanya satu minggu lho! Setelah itu kalian harus berangkat sendiri tanpa diantar, toh jalan kaki sebenarnya juga dekat, betul tidak?”
“Kwek! Iya Bu…. Kemaren Ibu saya juga mengatakan hal yang sama, tetapi Beni masih sedikit takut!”
“Ibu tahu itu, Acil juga begitu. Tapi tidak apa – apa selama kalian beradaptasi dengan sekolah baru Ibu akan mengantar jemput kalian sekolah. Nah, setelah satu minggu kalian sudah harus mandiri.”
“Bukan begitu Cil?” tanya Ibu saat melihat Acil masuk ruang tamu dengan membawa minuman buat mereka.
“Wah, orange juice! Makasih ya Cil!”
“Hei, siapa bilang ini untukmu?”
“Terus buat siapa dong?”
“Buat tamuku!”
“Hehehe! Kwek! Bukankah aku yang menjadi tamu-mu saat ini?”
“Tahu aja kamu nich!”
Tawa ceria segera saja menghiasi ruang tamu rumah Acil.

Ha ha ha haa ha! Ayo kita tertawa! Hi hi hi hiii hi! Ayo gembungkan pipi! Ceprut! Tepuk ceria, horeee!!!!
Sekolah Baru
RA “BAITUNNUR”,  terpampang jelas nama sekolah mereka di pintu gerbang, Acil dan Beni yang berada di boncengan Ibu  merasa senang membacanya, itulah sekolah mereka yang baru.
“Nah anak – anak! Ibu sudah selesai bertugas mengantar kalian sampai sekolah. Sekarang adalah tugas kalian sendiri untuk beradaptasi dengan lingkungan kalian, hati – hati! Ingat pesan Ibu untuk selalu berbuat baik dengan teman. Assalamu’alaikum….”
“Wa’alaikumussalam warohmatulloh….” Ucap mereka serempak.
Setelah mencium tangan Ibu, mereka pun masuk ke dalam gerbang sekolah. Ada banyak wajah baru yang belum mereka kenal, ada banyak gedung yang ada, dan mereka sudah tahu kalau harus berkumpul di aula. Bergegas mereka berlari menuju Aula. Namun di tengah lapangan depan sekolah….
Seekor anak kambing tengah duduk di bawah tiang bendera.
“Assalamu’alaikum…. Namamu siapa?”
Dengan malu – malu anak kambing itu menjawab sambil menundukkan mukanya. “Wa’alaikumsalam Aku Dombi”
“Aku Acil!”
“Aku Beni”
“Ayo kita segera masuk Aula, nanti ada acara bagus disana!” ajak  Acil.
“Dombi, ayo!”
“Aku malu!”
“Hei, kenapa harus malu? Bukankah kita semua temanmu?”
“Kalian tidak lihat wajahku? Kalian juga tidak tahu keluargaku?”
“Memang kenapa?”
Dombi memandang mereka berdua dengan perasaan takut….
“Subhanalloh! Kamu tampan sekali Dombi dengan tompel di jidatmu!”
“Benarkah?”
“Iya, baru kali ini aku melihat anak kambing sepertimu?”
“Betulkah?”
“Iyya, lagi pula kenapa kita harus menyesali karunia Tuhan kepada kita? Bukankah Alloh itu indah? Ingatlah hadits nabi yang berbunyi Innalloha jamilun yuhibbu jamalah bahwa Alloh itu indah dan menyukai keindahan. Betul kan Beni?”
“Ah, Acil! Kamu seperti da’i kecil saja!”
“Tapi betul kan yang aku katakan?”
“Tentu saja benar!”
“Ayo Dombi, kita semua temanmu, yuk!”
“Tapi Ibuku?”
“Kenapa dengan Ibumu?”
“Ibuku adalah tukang sayur di pasar….”
“Masyaalloh Dombi, bukankah kita berteman tak melihat Ibumu tukang sayur? Kita berteman karena kita sekolah di tempat yang sama. Urusan orangtua kita kerja dimana dan kerja apa, itu urusan orangtua kita, yang pasti apapun yang mereka kerjakan itu halal dan untuk kebaikan kita semua sebagai anak – anaknya. Jadi kau tak perlu malu lagi pada kami, oke!”
“Terimakasih teman – teman! Aku bersyukur sekali bertemu dengan kalian, aku tidak tahu bagaimana jadinya kalau aku tak bertemu dengan kalian…..”
“Rosululloh bersabda, ‘kullu ma’ruufin shodaqoh’ – setiap kebaikan adalah sedekah! Jadi kita berlomba – lomba yuk berbuat baik!”
“Tentu!” teriak Beni mendukung
“Bagaimana denganmu Dombi?”
Dombi tersenyum malu sekaligus riang gembira mulai terbit di hatinya. “Sebentar teman – teman…..”
“Aku senang sekolaaaah!” teriak Dombi sekencang – kencangnya, tak diperdulikannya lagi pandangan heran dari teman – temannya yang lain, tak sabar rasanya ia bercerita pada Ibu tentang hari pertamanya sekolah.
“Alhamdulillah! Bagaimana Dombi? Siap dengan tantangan kami untuk berlomba – lomba berbuat baik?”
“Tentu!”
“Horreeee!!!!”
Dengan  melompat – lompat riang mereka bertiga beriringan menuju Aula untuk bertemu dengan teman baru. Tak lupa mereka berniat untuk berlomba – lomba berbuat baik pada teman – teman baru mereka. Lihat anak – anak, bahkan matahari pun tertawa melihat tingkah mereka. Ayo kita ikuti yuk!

Lagu penutup


Kami anak muslim muslimah
Yang selalu riang gembira
Belajar bermain bersama
Di sekolah kami yang tercinta
Raudlotul Athfal
Baitun Nuur namanya
Itulah sekolahku tercinta
Tempatku bermain gembira
Ha ha ha!                                2x

Nah, anak – anak! Sekarang kita sudah sampai di Aula, waktu Bu dewi untuk menemani kalian sudah selesai, sekarang giliran Ibu guru yang lain untuk menemani kalian, sampai jumpa di lain waktu. 

Wassalamu’alaikum wa rohmatullohi wa baarokatuh!