Kamis, 06 Oktober 2011

Ada Cinta di Sudut Matanya....

Kamis, 9 Juni 2011
My lovely school ^_^
Sudah lama muridku satu ini tak bermasalah (dalam artian yang “terlalu”), ketika dulu aku menemukannya suka mengambil cutter di meja guru saat bu guru sedang lengah dan memain-mainkannya di pergelangan tangan, suka mengambil gunting saat semua temannya sibuk dengan permainan dan pekerjaan yang harus mereka selesaikan, sibuk menggunting jari – jarinya yang tak sempurna sambil sesekali kudengar rintihannya, “lebih baik mati saja!”.
Kemudian dengan hati – hati aku merayunya, mengatakan betapa dia terlahir istimewa dan masih banyak kalimat positif yang kusuntikkan padanya hingga dia menyerahkan segala bentuk sajam di tangannya padaku, dengan lega kupeluk anakku itu dengan cinta. Ah, Alloh memang MAHA SEMPURNA!
Setahun dia bersamaku di kelompok A, selalu dan selalu kukatakan padanya, “Bu Guru ada buat mas, dan kapan pun mas ingin bicara, bilang sama bu guru! Bu guru akan meluangkan waktu, ok!” Menurutku, dia berusaha “sembuh”, kulihat di kelompok B meski tidak terlalu nurut, dia juga tak “keterlaluan” menggoda guru – guru kelompok B, maka aku pun mulai melepasnya sambil sesekali memanggilnya, menanyai kesiapannya masuk SD dan juga tentang perasaan demi perasaan yang dialaminya, maka kulihat dia masih dalam taraf “nakal” biasa…. Ya iyalah, mana ada anak kecil tidak nakal ^_*
Hingga…. Terdengar suara anak perempuan menangis di kelompok B, bergegas aku masuk membantu guru kelompok B yang sendirian karena salah seorang rekan sedang tugas keluar. “Ada apa?” “Tangan Fitri berdarah di cutter sama Jayeng!” Aku terperangah, melihat sosok nama tertuduh duduk di bangkunya dengan pandangan bersalah dan ancang – ancang membela dirinya, sementara rekanku sibuk menjadi petugas P3K, aku mengkondisikan anak – anak agar kembali sibuk dengan pekerjaannya, maka anak – anak pun kembali sibuk sambil sesekali bersuara menyerang tertuduh.
Aku pun mendekatinya, kulihat dia ber-“jaga” hendak membela dirinya. Maka kulempar senyum berusaha maklum dengan perasaannya, dan mulai mengajaknya berdialog, “Boleh Bu Guru Tanya sesuatu?” Dan anak itu pun menggelengkan kepalanya kuat – kuat.
“Bu Guru tak hendak menghukummu sampai Bu Guru tahu jelas duduk perkaranya apa. Bisa cerita sama Bu Guru?” Dia kembali menggeleng – gelengkan kepalanya. “Baiklah, Bu Guru tak akan memaksa, nanti kalau sudah siap mengobrol, panggil Bu Guru, ya?!”
Kulihat anak yang terluka tangannya dan mulai menilai, memang hanya luka biasa, seperti luka teriris tanpa sengaja, hanya ini unsur “sengaja” yang memberatkan kedudukan si tertuduh. Aiiiih…. Nak?! Mulailah rekanku bercerita dalam dua minggu ini si “mas” berulah dengan banyak cara, mulai “menghilang” saat istirahat, dan juga pekerjaan yang terbengkalai, hmmmmhhh….
Sekali lagi aku mendekatinya, “Kalau siap bicara, panggil Bu Guru di kelas sebelah ya?” Dia mengangguk cepat dan aku pun masuk kembali ke kelas sebelah. Persiapan pulang untuk kelompok A, aku pun mulai sibuk menyiapkan “hadiah” cinta untuk anak – anak yang “juara” hari itu, dan si “mas” memanggilku. “Bu Guru!” Aku menoleh menyambut tangannya dan mengajaknya masuk kantor, maka kami pun duduk melantai dan mulai membuka suara .
“Mas, sudah siap dengan pertanyaan Bu Guru?” Ada pandang mata “takut”, namun kembali kutegaskan, “Bu Guru cuma mau tanya saja kok!” Dia mengangguk dengan senyum kecut.
“Boleh Bu Guru tau apa yang terjadi sebenarnya?”
“Fitri tadi menendangku lebih dahulu! Terus aku balas saja pakai cutter di tanganku!”
“Membela diri?” Dan dia pun mengangguk!
“Apa yang membuat mas harus begitu? Kan ada cara lain untuk menegurnya?”
Dia menatapku tajam, aku melihat ada bendungan yang dibangunnya dengan sekuat tenaga, ada “pertahanan” yang tak boleh ditembus sembarangan, maka aku pun mulai menyelami perasaannya.
Kutatap lekat – lekat matanya, kuraih tangannya dan mulai berkata, “Mas takut?” Dan dia mengangguk, “Mas cemas?” Kembali dia mengangguk, “Mas gelisah karena sebentar lagi harus masuk sekolah baru yang semua serba baru, dan mas merasa terancam karena keberadaan mas?”
Ada bendungan baru terbangun saat dia mengangguk – anggukkan kepalanya.
Aduh, Nak! Betapa kami semua lalai pada kondisi “psikologis”-mu? “Boleh Bu Guru tahu kenapa?” Dihulurkan kedua tangannya padaku, “Ini!” Kuamati dua tangan yang terulur di depanku, jari – jari yang “tak sempurna” (di mata kita), jari – jari yang pendek tak berkuku, aku tersenyum pedih.
“Karena Mas berbeda?” tebakku. Anggukannya semakin cepat, dan kulihat setetes airmata meluncur ke pipinya.
Hmmmmhhh….
“Mas tahu, itu semua karena mas istimewa! Meskipun menurut oranglain mas berbeda, mas istimewa di mata mama, di mata Bu Guru, dan yang pasti Alloh menciptakan mas ke dunia ada manfa’atnya….”
Dan anak usia 6 tahun di depanku mengangguk – anggukkan kepalanya sambil ikutan mendesiskan kata manfa’at.
Sejak pertama mengenalnya, aku tahu dia anak yang istimewa, setidaknya dibalik fisik yang kurang sempurna (di mata kita), dia anak yang bisa diajak berdialog tentang banyaak hal, menggali perasaannya, menanamkan penerimaan atas keadaannya, menumbuhkan kepercayaan dirinya, dan pada akhirnya menjadikan diri sebagai temannya untuk berbagi apa saja.
Ya! Dengan begitu, aku berharap “dampak negative” terhadap psikologisnya dapat dikurangi perlahan – lahan.
Maka berdialoglah kami tentang etika berteman, dan segala perbuatan baik dan buruk yang harus diketahui dan dipahami agar tidak salah dalam pengamalan sehari – hari, maka dengan kutemani si “mas” menemui temannya tadi dan meminta ma’af atas kesalahannya.
Dan ternyata benar, bahwa anak perempuan itu yang telah menendangnya lebih dulu hanya karena si mas menggodanya….
Allohu Akbar!!! Sampaikan kami pada kepahaman ya ILAHI, amiiin….
Maka kulihat mendung itu pun sirna berganti senyum hingga acara pelepasan tiba .