Rabu, 02 November 2011

Di@ry (part one)


Ahad, 30 Oktober 2011
at my lovely home with blue heart J
“Pelajaran Istimewa”
Tetesan pertama untuk sebuah kata “kecewa”, andaikata “kecewa” itu yang mengalami kita, maka akan mudah bagi kita untuk cepat menyikapinya (benarkah?), akan tetapi “kecewa” ini membawa nama lembaga, membawa nama orang lain, sungguh mengharukan bagaimana harus mengelolanya menjadi sebuah “pelajaran istimewa”.
Berawal dari mata
Indahnya tatapmu
mengapa harus resah
Berawal dari kata
Indahnya sapamu
Mengapa harus gundah
(kahitna….)
Menghibur diri kenapa kita “jatuh cinta” pada anak – anak J.
“Maafkanlah Bunda anakku, karena mispersepsi Bunda engkau tak mampu membuktikan bahwa kau yang terbaik dalam lomba kali ini, tidak apa – apa, percayalah ada ‘takdir’ terbaik yang tengah menunggumu…. Bersabarlah dan terus asahlah potensimu, karena kau tak pernah tahu kemana ‘waktu’ akan membawamu J….”
Ya! Karena “kengototan” Bunda dalam mengartikan betapa luasnya cerita pengalaman anak, bukankah mendengar dongeng dan menceritakan kembali adalah bagian dari cerita pengalamanmu, namun ternyata sekali lagi ada “pakem bahasa” yang Bunda tak begitu menguasainya hingga harus berakhir “kecewa” bagi kita semua. Bunda berterimakasih atas penampilan terbaikmu, Bunda yakin kami semua “berhutang banyak padamu”, sebuah pelajaran istimewa J
Duhai anakku kemana resah ini akan membawaku?
“Bagaimana ini Bu Guru, anakku telah memberikan penampilan terbaiknya, tapi tak ada satu pun tropi penghargaan dibawanya?”
Wahaiiii…. Andai saja Bunda mampu memutar waktu, akan Bunda cari tahu detail petunjuk teknis penilaian lomba yang kau ikuti, hingga engkau mampu terus melaju (ataukah “ego” Bunda dan orangtuamu?). Astaghfirullohal ‘adhiiim….
Inilah curahan hati Bunda untukmu….
Lomba akan dimulai, hati Bunda berderap kencang saat melihatmu dan orangtuamu yang tengah menunggu, penuh harap dan penuh “rindu”. Bunda sangat tahu apa yang kau rasakan, Bunda pun masih sering mengalaminya, “rindu” untuk maju dan tampil menjadi pengendali suasana meski hanya sejenak untuk mengisi waktu.
Maka para juri pun memasuki ruangan, Bunda berusaha masuk, namun hanya sebagian peserta bernomor awal dan pendamping yang boleh masuk, maka mulailah Bunda “menguping”.
Petunjuk teknis dibacakan secara detail, dan remang – remang telinga Bunda menangkap, “…. Cerita adalah murni pengalaman anak, dengan bahasa anak – anak….”
Maka lemaslah seluruh persendian Bunda mendapati perkataan itu, Bunda berusaha jumawa, biarlah kita tak sesuai kriteria mereka tapi kita tetap memberikan yang terbaik yang kita bisa (ah, anakku… itu adalah usahamu….)
Bunda pun mendekatimu, “Nak, jangan berfikir tentang kalah atau menang, hanya berikan penampilan terbaikmu, Bunda yakin kamu bisa!”
Kamu pun mengangguk – angguk lucu, debur nafas Bunda semakin kencang berharap waktu segera berlalu dan menunjukkan “takdir” yang berlaku atasmu.
“Ibu…. Capek!” ujarmu mulai merengek pada orangtuamu.
Mereka pun menghiburmu, masih beberapa nomor lagi giliranmu, Bunda lihat kau begitu capek dan lesu, “Begitu selesai tampil Bunda akan memberikan hadiah untukmu, mau?”
Kau pun mengangguk – angguk senang, Bunda pun berusaha tenang di tengah rengekan zakki yang terus terusan meminta mainan.
Melihat zakki yang terus merengek, melihat wajahmu yang begitu capek, maka Bunda pun bergerak mencarikan mainan untuk zakki dan mainan pesananmu sebagai hadiah penampilanmu, setelah mendapatkan apa yang Bunda cari, Bunda pun kembali ke tempatmu.
“Lihat, hadiah untukmu sudah Bunda pegang, berikan yang terbaik ya sayang….”
Kulihat bintang berpendar, wajahmu bersinar dan kulihat semangatmu kembali “menyala”, masuk dalam ruangan, dan setelah beberapa nomor kau tampil dengan begitu “prima”, saying Bunda tak mampu menyaksikannya dengan sempurna.
Selesai tampil Bunda mulai memberikan pengertian pada orangtuamu….
Duhai anakku, apapun yang kita lakukan tak harus selalu dibayar “tropi” kemenangan, saat kau mampu menyelesaikan apa yang telah kau mulai, maka itulah hakiki-nya juara.
Dialog Bunda dengan Orangtuamu
“Putri Ibu telah memberikan yang terbaik, urusan menang kalah itu hak prerogatif juri yang juga menjadi “takdir” Alloh apakah nanti kita bisa ke Surabaya atau pun tidak J
“Tapi Bu, dari semua penampilan, putri saya yang terbaik, semua mengakuinya, jadi bagaimana mungkin dia bisa kalah?”
“Kalau kita pakai juri “potlot” mungkin kita bisa menang, tapi juri ini sudah ahli di bidang bahasa yang memiliki “pakem” sendiri yang saya pun tidak faham karena saya bukan ahlinya J.”
“Saya yakin kita pasti bisa ke Surabaya, Bu!”
“Insyaalloh! Jika takdirnya ke Surabaya kita pasti akan ke Surabaya J.”
“Dari segi apa anak saya bisa kalah, Bu?”
“Setiap lomba yang saya ikuti, saya hanya punya bekal berani tampil dan mencoba memberikan yang terbaik, urusan menang atau kalah bagi saya hanya efek samping saja. Sering saya tampil dan menurut para penonton penampilan saya yang terbaik, tetapi sering juga saya bertanya, kenapa saya tidak mendapat nomor sedikit pun? Dan sampai saat ini hal itu menjadikan perenungan saya J.”
“Insyaalloh menang, Bu!”
“Amiiin….” (dengan hati yang mengambang)
Pengumuman tiba, namamu taka da di urutan para juara. Oh anakku, tropi bukanlah segala – galanya, asal kau telah memberikan yang terbaik maka itulah juara sesungguhnya.
(Part one J)



Rumah Kami Rumah Surga


Rumah Kami, Rumah Surga

Pagi kembali bergegas, berkejaran dengan waktu, kusiapkan buah hatiku untuk ikut ‘sekolah’ bersamaku, menu sarapan hanya nasi putih dan ceplok telur menghias meja, aku mondar mandir mempersiapkan keperluan buah hatiku agar harinya cerah dan dia bisa sibuk dengan aktivitasnya selama aku melakukan tugasku sebagai ‘guru’ J.
Semua telah siap, kami  pun berangkat, wajah anakku begitu riang mengingat ia akan berjumpa dengan teman sebayanya di sekolah.
“Bunda, bagi Adi….” Ucapnya dengan cedal. Maklumlah anakku masih berusia 26 bulan J. Adi itu panggilan anakku untuk anak temanku yang bernama Adly. Aku mengangguk dan menuntunnya ke halaman depan rumah menunggu ayah mengeluarkan motor dari dalam garasi.
Ayah bergegas mengantar kami menuju tempatku mengabdikan diri di sebuah RA di desa tempatku dibesarkan. Sepanjang jalan anakku pasti akan berceloteh tentang apa saja yang menarik perhatiannya.
“Nda, Anis!” tunjuknya saat melihat sesosok tubuh juga tengah bergegas ke arah barat, kami pun berpapasan.
“Assalamu’alaikum Bik Anis,” sapaku.
“Sa…kum Anis!” teriak  anakku dengan ceria.
“Wa’alaikumsalam…. Hai Zakki!” balasnya menyapa anakku sambil melambaikan tangan.
“Duluan ya….” Pamitku saat motor kami melewatinya.
Senyumnya mengiringi kepergian kami, aku jadi merasa malu sendiri….
Seringnya aku meremehkan motor butut suamiku (padahal kendaraan itulah yang kami punyai untuk memudahkan mobilitas kami dalam segala urusan), melihatnya berjalan kaki menuju tempatnya mengais rizki-MU membuatku haru….
“Bunda…, napa?” Tanya Zakki.
“Bunda malu sama Alloh J” jawabku.
“Napa… napa….” Tanyanya mencari penegasan.
“Semoga kita mampu menjadi hamba-NYA yang senantiasa bersyukur, Nak….” Bisikku di telinganya sambil mendekapnya.
*****
Aku mengenalnya sejak aku kelas 1 SMA, kala itu dia diantarkan Ibunya untuk dititipkan di keluargaku.  Lahir di keluarga petani yang -menurut orang- miskin membuatnya menjadi seorang pekerja keras yang pantang menyerah. Aku sering mengamatinya, apa yang membuat dia senantiasa bersemangat menjalankan roda kehidupannya.
“Aduh Mbah, sakit semua….” Rintihnya saat mamaku mengoleskan krim luka bakar di punggungnya, tubuhnya penuh dengan bekas luka cambukan.
“Bapakmu kok tega banget sih!” tanyaku.
“Aku tidak mau dikawinkan Mbak, Bapak marah karena keinginannya kutolak, akhirnya Bapak memukulku dengan cambuk sapi – sapinya…. Ssshhh…. Sshhhh….” Terangnya sambil berusaha menahan agar rasa sakitnya tak berubah menjadi keluhan.
“Dewi, sudah! Nanti saja dilanjutkan obrolannya biar Anis istirahat dulu.” Cegah mama saat melihat mulutku hendak kembali terbuka.
Cambuk sapi  telah melecutnya menjadi ‘seseorang’ yang tak suka berkeluh kesah. Masih ada banyak hal diluar sana yang masih perlu untuk dikerjakan daripada sekedar ‘mengeluh’ karena ketidakmampuan kita akan sesuatu hal.
*****
Tanpa terasa, tiga tahun sudah Anis ikut di keluargaku, dia tumbuh menjadi wanita yang sangat rajin bekerja, terampil dalam kerjaan rumah tangga, dan juga pandai memasak dan membuat kue J, terima kasih buat mamaku tercinta yang selalu menularkan ilmunya pada kami anak – anaknya.
Di tahun ke-4, Ibunya datang dengan membawa kabar bahwa Anis sudah ‘diminta’ sama orang, dan orangtuanya meng-‘iya’-kan tanpa meminta persetujuan darinya, benar – benar kolot! Hebatnya, sebagai anak Anis tidak membantah, dalam waktu 10 hari setelah ‘permintaan’ itu maka pernikahan pun dilaksanakan. Anis pun menikah dan diboyong ke rumah suaminya, rasanya kehilangan sekali sebab lewat Anis aku belajar banyak hal tentang kehidupan yang ‘keras’ diluar sana. Tentang masa kecilnya, tentang masa remajanya, dan semua hal yang mengembangkan sikap untuk selalu ber-‘usaha’.
Anis pergi, namun aku masih sering menjenguknya, dia kini tinggal bersama mertuanya, menempati sebuah kamar sempit yang isinya hanya dipan dan meja. Kulihat dia tak kekurangan sesuatu apa, namun dari wajahnya sepertinya dia ‘menahan’ sesuatu yang membuatnya menjadi setegar batu karang.
Saat dia hamil aku sering terkejut saat menjenguknya, dia harus menjemur jagung jika panen jagung, gabah jika panen gabah, dan -lagi- hebatnya, dia kerjakan sendiri, saudara – saudaranya tidak ada satu pun yang menolongnya, hingga suatu ketika aku tercengang melihatnya berlarian kesana kemari dengan perut besarnya saat hujan tiba – tiba turun, akhirnya aku ikut membantunya membereskan jemuran   jagungnya -kala itu-, sekali lagi aku tak mendengarnya ‘berkeluh kesah’, hanya ucapan terimakasih saja yang keluar dari mulutnya.
Beberapa waktu berselang setelah kelahiran anaknya, kamarnya bergeser ke belakang, sebuah tempat yang -tepatnya- mirip kandang, dindingnya terbuat dari bambu yang sudah berlubang disana – sini, dan gentingnya yang juga gak layak, jikalau hujan maka air akan meluncur deras, hingga basahlah lantai tanahnya. Saat itu hanya ada tanya tanpa berusaha kutemukan jawabannya. Sekali lagi dia tidak ‘berkeluh kesah’ J.
Kondisi Anis yang seperti itu sering menjadi perbincangan di antara kami saudara – saudaranya. Namun sungguh kita hanya mampu membantu semampunya dan juga membantunya dengan do’a, bagaimana pun jika wanita telah menikah maka ia adalah hak dari suaminya.
Beberapa tahun kemudian Anis datang ke rumah dan meminta restu mama papaku dan juga seluruh keluarga jika dia akan ‘membuat rumah’ di tanah kosong pemberian Bapak mertuanya dengan modal 5 juta. Wow!
Dalam satu tahun rumah itu telah berdiri, Anis dan suaminya mencetak batu bata sendiri, mengangkut batu dari sungai dekat -calon rumahnya-, menimba pasirnya di sungai, dan Subhanalloh! Rumahnya berdiri dengan gagah meskipun ‘proyek’ Anis ditengahi cibiran keluarga suaminya. Anis tidak berhenti berusaha dan terus bersemangat menyelesaikan rumahnya.
Do’a dan usahanya didengar oleh Alloh, setelah berjuang cukup lama (1 tahun), Anis memaksa menempati rumahnya meski pun saat itu tanpa pintu dan jendela. Sekali lagi Wow!
Mempunyai rumah sendiri membuatnya tampak lebih damai daripada saat dia masih ikut bersama mertuanya. Aku senang melihatnya, namun tampaknya sekali lagi dia harus berjibaku dengan kehidupannya yang keras.
Setiap hari setelah selesai dengan tetek bengek pekerjaan rumah tangganya, ia pergi ‘nylimbeti’ kulit kayu di sebuah penggergajian dekat rumahnya, terkadang dibawa pulang, namun terkadang juga dijual kembali, semester kubik 30rb, itu-lah pendapatan hariannya.
Suaminya kadang bekerja, kadang juga membantu ibunya, jadi praktis mereka bahu membahu untuk menjalankan roda rumah tangga mereka. Suatu upaya yang sangat mem-’bangga’-kan kami sebagai keluarganya.
Setelah aku menikah dan kehamilanku sering memaksaku beristirahat total, akhirnya aku pun meminta bantuannya untuk meringankan beban pekerjaan rumah tanggaku, mulailah kedekatan kami kembali terjalin, dan betapa banyak pelajaran yang kudapatkan dari selingan cerita – cerita saat dia membantuku mengerjakan tugas – tugas rumah tangga.
*****
“Sewaktu aku masuk dalam keluarga suamiku, aku sangat diremehkan Mbak, karena keluargaku miskin, rumahku berdinding sesek, dan semua itu berakibat pada perlakuan beda yang kuterima.” Ceritanya.
“Berbeda bagaimana?” tanyaku.
“Semua pekerjaan berat adalah tugasku, tidak ada seorang pun yang mau membantu, layaknya aku ini bukan menantu melainkan ‘babu’…, sedih Mbak jika aku mengingat itu semua.”
“Suamimu tahu?”
“Tidak pernah!”
“Kenapa?”
“Aku tak pernah menceritakan setiap kejadian yang kualami padanya….”
“Bukannya mestinya kamu bercerita pada suamimu?”
“Mana mungkin dia percaya! Sampai dia lihat sendiri buktinya!”
“Masyaalloh!”
“Dia baru merasa ‘heran’ saat kami digusur pindah ke kamar belakang dekat dapur yang berdinding sesek, gentingnya bocor semua, namun kami saat itu masih saling diam.”
“Maksudnya?”
“Kami tak pernah memperbincangkan kenapa semua itu terjadi L.”
“Astaghfirullohal ‘adhiiim…. Mertua perempuanmu memang sungguh terlalu!”
“Itu belum seberapa Mbak, saat beras kami hamper habis, Mak sama sekali tidak mau tahu, padahal kami bekerja keras untuknya….”
“Lalu kalian?”
“Aku puasa 3 hari dengan buka sahur air putih, beras terakhir kuhemat hanya untuk anakku….”
Ah, hati ini terasa ngilu mendengarnya, aku biasa main buang masakan seenaknya jika sudah sisa kemarin…. Astaghfirullohal’adhiiim….
“Yang paling menyakitkanku, setiap kali Mak menyuruhku melakukan sesuatu maka dia selalu bilang, hidup itu tidak ada yang gratis, semuanya ada harganya…. Tapi aku bersyukur Mbak karena itu semua hanya masa lalu.”
“Kamu tidak menyesal?”
“Apanya yang harus kusesali Mbak? Alloh sudah menggariskan semua itu terjadi padaku, sebagai hamba aku harus menerimanya dengan lapang dada. Aku bersyukur karena aku memiliki suami yang sabar dan bisa diajak berbagi dalam segala hal. Apalagi setelah dia tahu Mak-nya yang ‘semena – mena’ terhadapku dan anaknya. Dia menjadi pelindung yang baik buat kami, jadi apanya yang harus kusesali Mbak?
Apanya yang harus kusesali? Satu pertanyaan yang menancap dalam hatiku. Satu hal yang harus selalu ditanyakan agar kita selalu memijak bumi dan mampu mensyukuri segenap pemberian Ilahi Robbi. Satu pelajaran baru kupetik dengan kebersamaannya denganku.
*****
“ Tahu nggak Mbak, waktu aku dan suamiku memutuskan untuk membuat rumah hanya dengan modal 5 juta, semua saudaranya mentertawakan kami, mereka bilang mana mungkin hanya dengan 5 juta rumah kami akan berdiri,” ungkapnya sambil menahan tawa.
“Diremehkan begitu apa yang kamu lakukan?” tanyaku.
“Bismillahirrohmanirrohiiim, Gusti Alloh nggak mungkin ‘merem’ Mbak! Aku dan suamiku bermusyawarah dan nekad berangkat dengan uang itu.”
“Terus?”
“Alhamdulillah Mbak, aku dan suamiku sepakat, untuk menghemat uang kami harus mencari bahan bangunan yang tidak mengeluarkan biaya. Kami terjun ke sungai, mengangkut batu – batu kali ke lahan kami, sampai cukup untuk membuat pondasi.” Terangnya.
“Subhanalloh, terus?” tanyaku penasaran.
“Setelah kami rasa cukup, maka kami pun mulai ‘nduduk’ pondasi bersama dengan bantuan beberapa tukang, kami bisa menghemat biaya banyak sekali.”
“Orang kampung tidak protes?”
“Mereka bahkan berterimakasih karena batu kali yang kami ambil membuat sungai tempat mereka mencuci baju semakin luas J
“Oh, ya?”
“Pondasi selesai, sambil ‘ngebong boto’ kami terus mencari pasir di sungai hingga kami dapat mengangkut pasir sungai kurang lebih 2 truk!”
Ck ck ck! Aku membayangkannya mengangkat pasir berkarung – karung dari sungai menuju rumahnya.  Betul – betul perempuan perkasa.
“Karena kami juga membuat batu bata sendiri, sekali lagi kami menghemat jutaan rupiah.”
“Hmmmhhh….”
“Akhirnya rumah kami berdiri, saat kami memikirkan cara untuk menyiapkan ‘kuda -  kuda’ untuk atap, Bapakku yang petani miskin datang dengan membawa kayu jati yang bisa kugunakan untuk atap rumah. Alhamdulillah Mbak, meskipun Bapak orang yang keras, namun beliau masih sangat memperhatikan anaknya….” Ucapan Anis menggantung.
“Akhirnya selesai juga rumahmu dan kamu bisa ‘berbangga hati’ karena telah bekerja keras untuk mewujudkannya, bukan begitu?” ujarku menyimpulkan ceritanya.
Anis tersenyum, senyuman lega yang membahagiakan siapa pun yang melihatnya. Sekali lagi aku harus malu padanya dan keteguhannya. Membayangkannya yang hanya lulusan SD namun mempunyai begitu banyak kecerdasan dan keterampilan hidup yang memukau, subhanalloh!
Anis sungguh bisa bertahan bahkan membuat segala keterbatasannya menjadi tantangan, dia sangat cerdas memanfaatkan alam sekitar untuk membantunya mewujudkan mimpi, memiliki rumah sendiri yang nyaman dan aman untuk ditinggali oleh keluarganya, dan yang pasti dia ‘terbebas’ dari penguasaan mertuanya terhadap hidup dan kehidupannya.
Sungguh, aku bersyukur karena rumah kami adalah rumah surge, rumah yang dipenuhi keindahan akan kasih sayang dan juga tempat kami senantiasa mengingat betapa bersyukurnya kami akan semua karunia Alloh SWT.