Akas Pembuat Mokas
“Pak, aku ikut ya?” rajuk Akas.
Bapaknya menggerenyitkan dahi sambil memandang curiga.
“Kamu mau bolos sekolah?”
“Enggak! Nanti aku bawa baju ganti terus langsung
sekolah!” ujar Akas menegaskan alasannya.
Bapak yang menyiapkan keranjang di boncengan belakang
sepeda ontelnya menghela nafas panjang. Dipandangnya Akas dengan pandangan
sayang.
“Kamu nggak malu? Bagaimana kalau teman – temanmu
meledekmu?”
“Tidak apa – apa, Pak. Akas bangga kok jadi anak Bapak.”
Bapak tersenyum senang. Iya, siapa yang tak bangga
mempunyai Bapak seperti Pak Nardi, seorang pemulung yang baik hati. Bukankah
dengan menerima segala sampah rumah tangga berarti ikut menjaga kebersihan
dunia?
“Baiklah, tolong ambilkan bekal makan siang Bapak di
Emak, sekalian minta tambah buat jatahmu nanti.” Timpal Bapak cepat memberi
perintah..
“Siap, Pak!” tukas Akas ceria.
Bergegas Akas mencari Emak di dapur dan menyampaikan
pesan Bapak. Emak juga sempat khawatir dengan keinginan Akas ikut Bapak
memulung hari itu, namun setelah melihat keteguhan Akas, Emak pun mengangguk –
anggukkan kepalanya dengan haru.
*****
Pernah satu kali ketika baru masuk SD, Akas pulang
dengan airmata berderai. Ketika Emak bertanya kenapa? Ada temannya yang
meledeknya sebagai anak tukang rombeng. Sejak saat itu Emak sepakat dengan
Bapak untuk tak lagi mengajak Akas pergi memulung.
“Boleh Emak tahu kenapa kamu pengen ikut Bapak, Nak?”
“Kata Bu guru, kita harus bangga dengan pekerjaan
orangtua kita, karena dengan pekerjaan itulah orangtua kita menghidupi keluarga
kita. Akas pikir apa salahnya Akas ikut untuk membantu Bapak memulung.”
Emak mengangguk senang. Akas sudah kelas tiga. Setiap
hari ia juga membantu menyortir sampah di rumah, namun kalau ikut? Baru kali
ini Akas mencetuskan keinginannya sejak masuk Sekolah Dasar.
“Boleh Emak tahu sebenarnya kamu ingin apa?” Tanya
Emak sambil menghulurkan bekal makan siang.
Akas tersenyum, “Emak ngerti ya?”
Giliran Emak yang terkejut, “Tebakan Emak benar, ya?
Kamu ingin sesuatu makanya pengen ikut Bapak.”
“Akas pengen bisa nyari uang sendiri. Akas ingin punya
mobil-mobilan.”
Bibir Emak membulat, Akas tersenyum dan berlari
keluar.
“Jangan bolos sekolah!” Terdengar teriakan Emak
mengejar Akas.
*****
“Kardus bekas air kemasan sekilo berapa, Pak?” Tanya
seorang ibu berbadan lebar sesaat setelah Bapak memenuh panggilannya.
“Sebelas ribu!”
“Apa gak bisa lima belas?”
“Hwaduh Bu, coba dibawa sendiri aja ke gudangnya Pak
Karto!”
“Ya, sudah! Sebelas juga gak apa-apa. Sudah sumpek
rasanya lihat banyak kardus berserakan.”
“Ditimbang dulu kardus bekasnya, Bu!”
Bapak sibuk mengumpulkan kardus dan mengikatnya,
setelah itu Bapak mengeluarkan timbangan dan mulai menimbang.
“2 kilo, Bu!”
“Aduh, enam belas kardus kok Cuma dua kilo, sih!”
“Rata – rata sekilo berisi enam sampai delapan kardus
bekas air kemasan, itu tergantung dari tebal tipisnya kardus, Bu! Mau atau
tidak saya bayar dua puluh dua ribu?”
Akhirnya kardus bekas itu pun berpindah tangan ke
Bapak. Akas menghitung, dua puluh dua ribu dikeluarkan Bapak untuk dua kilo
kardus bekas.
“Kalau di gudang Pak Karto laku berapa, Pak?”
“Sekilo lima
belas ribu!”
Akas menghitung dalam hati, lima belas ribu dikurangi
sebelas ribu, sisa empat ribu rupiah, kalau dikali dua jadi delapan ribu. Aduh!
Truk mainan yang seperti punya Rizki itu harganya tiga puluh ribu. Hasil kerja
Bapak berapa lama untuk beli mobil truk itu.
Setengah hari Bapak mengajaknya berkeliling, setelah
setor ke gudang Pak Karto, Bapak mengajaknya sholat dhuhur di dekat sekolahnya
sambil menghabiskan bekal dari Emak.
“Makan yang banyak biar kenyang, nanti di sekolah kamu
tak perlu jajan lagi!”
Akas memandang Bapak dengan sayang, setengah hari
menemani Bapak, mereka dapat uang delapan ribu. Ah, selamat tinggal mobil truk!
“Boleh Bapak tahu apa yang kamu pikirkan?”
“Sebenarnya Akas ingin punya mobil truk, tapi Akas
sadar itu tak mungkin, Harganya mahal kan Pak?”
Bapak termenung, seutas senyum terbit di sudut
bibirnya. “Bagaimana kalau besok Bapak mengajarkan sesuatu padamu?”
“Mau, Pak! Mau!”
“Sekarang waktunya kamu pergi sekolah. Bapak harus
mengumpulkan bahan – bahannya.”
*****
Keesokan pagi Bapak dan anak itu asyik mengerjakan
sesuatu di teras rumah. Ada kardus bekas televisi yang cukup tebal, ada pisau,
lem, bekas stik mi, dan plastik mika tebal bekas tempat kue.
Setelah membuat pola, Bapak mulai memotong kardus,
menempel dengan lem, dan sungguh cekatan. Bapak selesai dalam waktu satu jam.
Terlihat mobil truk dari kardus bekas karya Bapak. Akas tersenyum senang!
“Aku akan belajar membuatnya, Pak. Nanti aku jual ke
teman – temanku, boleh?”
Bapak tersenyum mengamini ucapan Akas. Sejak saat itu
Akas terkenal sebagai pembuat mokas (mobil kardus bekas) di antara teman –
temannya. Banyak teman yang memesan padanya untuk dibuatkan mobil serupa. Akas
menjualnya dengan harga lima belas ribu rupiah. Kalau bahannya menghabiskan
kardus satu dengan harga dasar dua ribu, bukankah Akas sudah belajar menjadi
seorang pengusaha mokas?