Rabu, 29 Agustus 2012

Curhatan Nasuha ^_^


Ketika Alloh “menegur”-ku

Selasa, 28 Agustus 2012

Hari ini tak ada yang istimewa, seperti hari-hari biasa yang kulewati dengan segala ragam kesenangan dan “tekanan” yang biasa pula kurasakan.
Pagi setelah membersihkan sekolah di tempatku mengabdikan diri, pulang ke rumah berkutat dengan setumpuk pekerjaan rumah tangga, dan di tengah hari bersiap dengan perjalanan untuk “takziyah” di daerah Beji – Batu.
Kami pun meluncur bersama kedua saudara perempuanku dan Mamaku, bertakziyah sebentar dan aku pun memilih melanjutkan sendiri karena akan ada acara bersama keluarga suami ba’dha Maghrib, menuju alun-alun kota Malang.
Turun dari LDG, aku bersiap memasuki masjid Jami’ kota Malang, meniatkan hati untuk sholat Ashar. Kugandeng tangan si kecil dengan penuh pengharapan bahwa kelak ia akan mencintai masjid dan akan menjadi satu dari sekian hambaNYA yang memakmurkan masjid, amin Insyaalloh….
Tidak satu atau dua kali, berkali-kali kami sholat di masjid itu dan tak terjadi apa-apa, namun hari itu….
Anakku mulai menunjukkan gejala akan pipis, kutarik ke belakang ternyata kata pengunjung lain toilet pindah ke dekat ruang wudlu, kuseret anakku dengan cepat sambil memberikan motivasi, “sabar, tahan! Sedikit lagi….”
Dan….
Jebollah pertahanan anakku hingga dia pipis di celana, aku kaget dan tercenung sejenak, dia “ngompol” di dekat kotak untuk membasuh kaki di garis luar yang dekat tempat peminjaman mukena.
Dengan sigap aku berlari ke pengurus masjid yang menjaga mukena dan berkata, “Ma’af, anak saya pipis di dekat kullah, apa yang harus saya lakukan untuk membersihkannya?”
Panik! Itu yang saya rasakan….
Di saat panik itu saya dengar satu suara ibu-ibu penjaga kamar mandi, “Bu, anaknya ngompol di masjid, najis! Bikin najis semesjid dan blab la bla bla….”
Sampai saya dengar ‘adzab Alloh dibawa-bawa. Maka saya pun meledak! Saya menangis di depan orang se-mesjid, dan masih ditambah lagi,“Nguras iku seng soro, makanya kalau punya anak kecil dijaga, jangan sampai ngompol di masjid!”
Saat itu saya marah, saya pandang orang itu, saya yang tak pernah suka bertengkar akhirnya menyahut, “Saya akan tanggung jawab membersihkannya, dia anak saya, marahi saya saja! Nggak usah adzab Alloh dibawa-bawa!”
Namun ada suara baik menolong saya, “Bu, saya bantu…. Anaknya diurus dulu. Dilepas celananya masukin kresek dan dicebokin.”
Saya bawa si kecil masuk ke tempat wudlu, saya lepas celananya sambil terus menangis (entah apa yang saya rasakan saat itu….). Saya cebokin dan berpesan, “Kamu diam disini sampai bunda kembali….”
Entah teguran apa yang dilewatkan Alloh melalui mulutnya, wanita itu terus menceracau di ruang wudlu.
“Demi Alloh, saya kesini berniat sholat. Dan tak ada kesengajaan anak saya buat pipis sembarangan.”
Saya pun kembali ke kullah tempat si kecil tak sengaja ngompol. Seorang ibu yang baik telah membantu saya menyiram bekas pipis si kecil, saya bilang “Maaf Bu, dia anak saya biar saya bertanggung jawab.”
Akhirnya si Ibu yang baik memberikan selang air dan sikat pada saya. Saya pun bekerja dengan deraian air mata, …. Adzab Alloh? Apa hubungannya dengan si kecil pipis (tanpa sengaja) sama adzab Alloh? Telinga saya panas, begitu juga dengan hati saya. Ibu yang menegur dengan cara “tak ramah” (semoga Alloh mengampuni kita, menjernihkan hatiku yang panas karena dipantik kata-katanya)
Seorang Bapak pengurus masjid jami’ agung kota Malang datang dan bertanya, “Ada apa?”
Saya yang sedang panas hati menjawab, “Anak saya pipis tanpa sengaja dan saya akan bertanggungjawab membersihkannya, cukup ajari saya gimana membersihkan kullah ini.”
Mungkin karena hawa “panas” yang saya bawa, bapak itu pun menjawab, “Bu, ini rumah Alloh jangan marah-marah disini! Ibu ini dibantu kok malah marah-marah?”
“Caranya menegur yang saya tidak terima!” tukas saya cepat.
Setelah selesai dengan menyiram bekas pipis si kecil dan menguras kullah dengan perasaan tak karuan, akhirnya Bapak pengurus masjid itu berkata, “Sudah Bu, ditinggal aja biar kami yang menyelesaikan.”
Dengan perasaan malu tak karuan saya kembali pada si kecil, ada keinginan memarahinya, namun saya takut itu akan mengecilkan hatinya dan membuatnya “trauma” masuk masjid. Bagaimana mungkin seorang muslim trauma masuk masjid karena kejadian “sepele” seperti itu? Ya, taruh kata bukan sepele, bukankah ada cara yang lebih baik untuk mengingatkan saya sebagai ibunya?
Akhirnya setelah bicara panjang lebar dengan si kecil, si kecil saya pakaikan jaket saya yang kebesaran untuknya sambil berusaha menenangkannya. Beruntung dia tidak menangis kencang karena akan menambah kepanikan saya. Sesekali dia menatap saya dengan pandangan “memelas” yang menghancurkan hati saya sebagai bundanya.
“Malu….” Dia terdiam sebentar dan kembali berkata, “malu….”
“Kakak anaknya Bunda, apa pun itu Kakak anaknya Bunda. Ayo sekarang kita pergi dari sini dan tunggu ayah jemput kita di alun-alun.
Dengan tanpa celana si kecil saya gendong keluar dari ruang wudlu (alhamdulillahnya auratnya tertutup karena memakai jaket saya yang gedombrongan). Saya harus menjauhkannya dari pandangan orang lain yang akan menghancurkan konsep dirinya. Saya keluarkan uang, “Saya ganti rugi jika saya dianggap merugikan, saya minta maaf Pak! Mungkin hari ini saya tak boleh sholat disini.”
“Disini rumah Alloh, jangan marah-marah, Bu!”
“Saya tahu, yang saya tidak terima cara menegur saya, tidaklah perlu sampai adzab Alloh dibawa-bawa.”
Saya pun pergi, ibu itu (siapa pun nama Anda), apa tak pernah punya anak kecil? Tapi terimakasih telah membantu saya menangis dan kembali berkaca tentang “kedirian” kita sebagai hamba.
Bandingkan dengan ini….
Di toko buku, saya pernah melihat seorang anak mengompol, ibunya membersihkan bekas ompol si anak dan penjaga toko tanpa banyak bicara melanjutkan dengan mengepel lantainya.
Di sekolah, ketika seorang anak menangis malu karena mengompol seorang guru menenangkannya dengan kasih sayang, membantunya membersihkan diri dan memberikannya pakaian ganti.
Di masjid? Tak seorang pun membantu anak saya ketika harus berdiri sendiri di ruang wudlu (bahkan saya khawatir ibu itu pun masih menceracau di depan si kecil), apakah kita sudah muslim Bu?
Di alun-alun….
“Kenapa bisa kakak pipis di celana?”
Si kecil hanya menjawab patah-patah, “Malu…. Malu….”
Hatiku semakin hancur melihatnya. Sekuat mungkin kutahan aku tak boleh marah, ini pengalaman pertama kami mengalami hal ini.
“Bunda nangis?”
“Bunda sedih, malu karena tak bisa mengurus kakak dengan baik….”
“Aku malu….”
“Kalau malu kenapa tak bisa (ngempet) menahan?”
“Aku sudah gak kuat….”
Maka tanpa mampu kubendung, maka menangislah sepuas-puasnya tanpa memperdulikan pandangan orang yang lalu lalang.
Maka hikmah itu….
Tak ada seorang pun yang menyiapkan diri untuk sebuah “teguran”, maka setelah semalaman “menangis” sambil mengaca diri, maka saya putuskan menulis kisah ini dan berbagi disini agar pengalaman saya ini bisa jadi “pelajaran” buat semuanya.
Untuk saya, semoga saya lebih berhati-hati menjaga si kecil dalam masa perkembangannya.
Untuk teman-teman lain juga.
Untuk pengurus masjid semoga bisa menegur “pelaku” (anggap saja begitu) dengan lebih sopan dan beradab. Semoga Alloh memberikan ampunan buat saya (jika belum layak menyematkan predikat sebagai Bunda), buat siapapun yang membaca ini semoga kita termasuk hamba yang senantiasa mengambil hikmah positif dibalik setiap kejadian.
See u at the other story, Insyaalloh J









Sabtu, 07 April 2012

Cerpen Anak Pertamaku yang tembus media tahun 2005


Mata Pena

Hari ini Rusdi datang dengan menenteng kotak pena baru, dengan bangga dia memamerkan kotak pena itu pada teman – temannya. Semua temannya sangat menyukai benda yang berada didalamnya. Kotak pena itu terasa istimewa karena hanya berisi sebuah pena saja. Pena yang sangat bagus, berwarna biru metalik dengan pelet keemasan, semuanya merasa sangat suka.
Ada Dania yang cerewet, Dodi yang suka sekali ngisengin teman, Danu yang baik hati, Lastri yang suka sekali membawa bekal mi buat makan siang di sekolah, bahkan Livia yang tak pernah perduli dengan apapun yang terjadi di sekelilingnya ikut berebut melihat kotak pena Rusdi.
"Bagus sekali kotak penamu Rus?" ucap Dania.
"Jelas dong! Punya Rusdi!"
"Dapat hadiah ya?" kata Danu menimpali.
"Iya! Kemarin Papaku datang dari Australi, nah aku dibawa-in oleh – oleh ini, coba kalian lihat dengan seksama, lihat!" ujar Rusdi sambil menunjuk ke arah batang pena yang berwarna biru.
Semua mata melihatnya dengan penasaran, Rusdi mengambilnya dan menggerak – gerakkan secara memutar, semua mata itu masih mencari – cari keistimewaan yang diceritakan oleh Rusdi.
"Apanya yang istimewa?" seru Livia.
"Wah, kalian tidak lihat ya? Ada gambar kanggurunya yang kelihatan hanya jika tertimpa cahaya."
"Wow!" semua mulut terbuka menyerukan keheranannya.
Rusdi semakin senang melihat ketakjuban teman – temannya pada pena barunya. "Bolehkah kami melihatnya dari dekat?" tanya Lastri.
Maka Rusdi pun dengan bangga mendekatkan pena itu ke pandangan teman – temannya sembari terus memutar – mutarnya, agar gambar kangguru itu terlihat pula oleh mereka.
"Woooooo..... benar! Pena-mu benar – benar bagus dech Rus!" seru Livia dipenuhi rasa takjub.
Rusdi tertawa senang, "Terimakasih Livia!" serunya.
Selesai memuji keindahan pena Rusdi, Livia pun duduk kembali di bangkunya, ia pun mulai membayangkan kalau saja papanya akan berdinas ke Australia juga, maka ia akan memesan pena beserta kotaknya yang cantik seperti punya Rusdi. Hanya saja ia akan memilih warna favoritnya, merah muda!
"Rusdi!"
"Ya, Livia! Ada apa?"
"Apakah ada pena seperti yang kau punya berwarna merah muda?"
"Wah, aku tidak tahu Livia, coba nanti pas aku pulang akan kutanyakan sama Papa, adakah pena seperti milikku yang berwarna merah muda."
"Terimakasih ya Rus. Aku suka sekali melihat penamu!"
"Hei, Livia! Apa kamu juga ingin punya pena seperti punya Rusdi?" teriak Dodi setelah diam – diam ikut mencuri dengar pembicaraan Livia dan Rusdi.
"Tentu saja! Jika Papa punya kesempatan untuk dinas ke Australia aku pasti akan memesan oleh – oleh seperti punya Rusdi! Gak apa – apa kan Rus?"
"Tentu saja tidak apa – apa!"
Dengan gusar Dodi meninggalkan mereka berdua.
Suasana gaduh terjadi seusai istirahat saat Rusdi mencari – cari kotak penanya yang baru, dia begitu panik tak menjumpai benda kesayangannya di dalam tas, di laci meja, dan dengan tergesa ia pun melapor kepada Guru pengasuh akan kehilangan kotak penanya.
Mendapat laporan itu, Guru piket langsung menuju kelas Rusdi, semua anak ikut panik dan ketakutan. Untunglah hari itu yang bertugas adalah Pak Fadlan Guru olahraga mereka yang baik hati.
"Baik anak – anak! Letakkan semua tas di atas meja kalian...."
Serentak semua anak meletakkan tas-nya di atas meja. "Kalian berbaris di samping tempat duduk kalian masing – masing!"
Harap – harap cemas mereka ingin segera mengetahui siapakah yang telah berbuat jahat pada Rusdi, menyembunyikan atau bahkan mencuri kotak pena Rusdi beserta penanya. Pak Fadlan berjalan dengan gagah melihat satu per satu tas anak – anak hingga sampailah ke meja Livia, lihat! Kotak pena itu ditemukan! Livia tergeragap, ia tak merasa mencurinya, apalagi menyimpan dalam tasnya.
"Tidak! Aku tidak mencurinya!" teriak Livia.
"Tetapi bagaimana mungkin kotak pena Rusdi bisa sampai ke dalam tasmu?" tanya Pak Fadlan bijaksana.
Livia sudah menangis jengkel karena merasa tak bersalah. "Rusdi, coba lihat apakah benar ini pena milikmu?"
Rusdi dengan tatapan mata bingung mendekat ke Pak Fadlan dan menyambut kotak penanya. Dilihatnya pena itu seperti habis dipakai dan lupa memencetnya sehingga mata pena itu masih menyembul keluar. Rusdi berbisik – bisik dengan Pak Fadlan, Livia sudah sesenggukan menekurkan kepalanya di atas meja. Pak Fadlan mengangguk – angguk, "Anak – anak, sekarang coba perlihatkan tangan kalian semua, biar Bapak memeriksa satu per satu."
Yang pertama mendapat giliran adalah Livi, dengan lemas Livia mengangkat tangannya, Pak Fadlan terus berjalan hingga sampai di meja Dodi, dengan senyum – senyum nakal setengah mengejek dia memperlihatkan tangannya.
"Tanganmu penuh coretan pena ya?"
Dodi terkejut sekali mendengar pertanyaan Rusdi. Dilihatnya tangan yang lupa dibersihkan, tertunduklah dia karena merasa malu dan ketahuan. "Kamu tau kalau mata penanya lupa kau masukkan lagi, jadi aku bisa bayangkan kalau penaku habis dipakai, dan yang memakainya adalah pencuri itu!"
"Maafkan aku...."
"Dodi, kau tak boleh memfitnah Livia, kau juga harus meminta maaf padanya. Untung, Rusdi cerdas sehingga kita bisa segera membersihkan nama Livia. Na, sekarang hukuman buat Dodi adalah mengepel kelas setiap pulang sekolah selama satu minggu J."
Semua anak tertawa senang, Dodi diam terpekur menekuri kesalahannya. Livia kembali tersenyum, dan Rusdi merasa senang karena sudah berhasil memberi pelajaran pada Dodi.

Sabtu, 03 Maret 2012

Bagaimana kisahku menjadi “Pendongeng”



Bismillah….
Membayar hutang janji men-“share” tentang mendongeng, maka ijinkanlah saya untuk ciap-ciap sedikit pengalaman yang saya punya tentang bagaimana saya menjadi pendongeng, hallah!
Tak pernah terbayang di benak saya akhirnya Alloh menghantarkan saya untuk sampai disini, bahkan berani melabelli diri dengan “DORA-Dongeng Bersama Bunda Mora” – 2010, dan akhirnya saya putuskan mengganti BRAND menjadi “Dongeng Bunda Mora saja” – 2012.
Melayangkan ingatan di masa kecil, tumbuh berbeda dalam keluarga, selalu dipertanyakan kenapa “berbeda” dari saudara-saudara yang lain membuat “sensitifitas” meninggi. Tak mampu curhat, akhirnya jatuh cinta pada sandiwara radio “Brama Kumbara”, heheheh! (sebab ada tokoh yang selalu malang disitu, aih!).
Radio temanku!
Setiap sore (sayangnya lupa radio apa?) selalu mengudarakan dongeng macam keong emas,ande-ande lumut,  timun emas, dll. Menarik! Inspiring! Secara tidak sadar saya diajari “bercakap-cakap” dengan diri saya sendiri (tanpa suara alias dalam hati).
Di SDI Al-Maarif 02 saat itu juga sering memutarkan kaset yang berisi cerita-cerita yang seperti tersebut di atas. Jadilah keong emas dan ande-ande lumut cerita favorit saya hingga saat ini (walaupun belum pernah saya dongengkan ketika di atas panggung).
Ketika SMP, pernah mencoba mengikuti lomba cerita dll, kalah mental melihat begitu banyak pesaing yang ayu-ayu, hehehe! Maka sejak itu sedikit terlupakan.
Pada waktu SMA juga tak pernah berfikir kesana, hingga….

1997!
Saya kuliah dan menjadi ustadzah di TPQ-TPQ pinggir kali, mulailah saya mengisahkan hikmah berdasarkan “Riyadhus Sholihin” dan kitab-kitab lain.
Saya mulai melihat perbedaan. Kata teman-teman, setiap kali saya yang membuka majelis anak-anak akan diam memperhatikan, benarkah?!
Kembali pada radio, akhirnya ANDALUS menjadi pilihan saya menimba ilmu, ada kisah-kisah penuh hikmah yang diudarakannya setiap hari, gaya bertuturnya elok dan lembut, iringan musiknya juga menghanyutkan. Saya pun mulai menirunya.
Saya usung tape kecil dan mulai beroperasi di Musholla desa (boleh, kan?) yang waktu itu “sepi” pengunjung anak-anak. Setiap sore! Satu demi satu anak-anak datang, mereka menyimak kisah yang saya sampaikan, dan dimulailah TPQ baru dibawah komando teman-teman REMUS dimotori saya, hehehe!

2004
Seorang teman yang melihat bagaimana saya mampu mengendalikan anak-anak mengajak saya membuka PAUD, saya pun menyambutnya dengan senang, karena dunia masa depan akan dipenuhi anak-anak saat ini, jadilah saya memakai “peran” dalam mengusung pembelajaran. Saya tertatih-tatih karena background pendidikan saya yang jauh menyimpang. Namun “cinta” berrbicara hingga dengan segenap usaha saya terus belajar untuk “bisa”, dalam hal apa pun yang berhubungan dengan proses belajar mengajar, walaupun sampai saat ini masih sering terseok-seok.
Di tahun ini saya mengenal 3 karakter suara (suara kecil, suara besar, dan suara saya sendiri). Maka ketika RRI mengadakan lomba dongeng, saya memberanikan ikut dan saat “evaluasi” (karena Technical Meeting tak hadir), tahulah saya kalau saya telah menyajikan “cerita”, bukan “dongeng”. Dari segi intonasi, ekspresi, dan penguasaan semua bagus, sayangnya pilihan saya cerita, begitulah kira-kira yang disampaikan pada saya. Gagal! Namun tak patah arang ^_^.

2005
Mencoba kembali pada jalur pendidikan ketika kuliah, berusaha menggapai “impian” lain, namun di tengah-tengah perjalanan kembali Alloh “menyentuh” saya dengan dunia anak-anak, memegang “outbond” anak dan kembali “mendongeng” sungguh mengasyikkan!
Saya putuskan kembali pulang dan masuk di LPGTKIT selama setahun. Bertemulah saya dengan pendongeng senior kota Malang “Kak Rohmat”. Belajar kepadanya dan kepada Murid seniornya membuat saya semakin PD mengolah semua kemampuan saya, prinsip TAK ADA YANG TAK BISA ASAL KITA MAU USAHA pun saya terapkan dalam berbagai kesempatan. Saya ibarat spon yang menyerap begitu banyak air untuk bekal “perjalanan” panjang saya.

2006
Memutuskan untuk mengabdikan diri di RA Baitul Mu’minin, mulailah saya berteman banyak boneka dan berusaha mengenal karakter suara yang lain.
Bebek, Ayam, Anjing, dll! (Satu poin penting, karena masih belajar. Saya selalu mengingatnya dengan menyuarakan suara aslinya dulu agar tak salah menyampaikan. Missal: Bebek berkata, “Kwek! Kwek! Ada apa? – dengan suara cempreng kejepit. Dst.).
Saya juga mulai menerima beberapa panggilan “mendongeng” meski tanpa “uang saku” kala itu, Alhamdulillah!

2008
Man Jadda wa jadda! Kesukaan mendongeng saya mendapat apresiasi yang baik saat mengikuti lomba guru RA tingkat Kabupaten dengan menyabet kesempatan menjadi juara I (How Lucky I am! Alhamdulillah!). Namun di atas langit masih ada langit! Saya gagal di Propinsi, tak patah arang!
Saya juga tetap menerima job “mendongeng” ke sekolah-sekolah dan even-even lain, bahkan ada yang privat hingga berkesempatan meraih juara I tingkat Jatim.

2009
Terus mendongeng, berkisah, dan mulai membawa “berkah” melimpah, amiiin….

2010
Ada seorang teman menjadi guru Broadcast di SMK menggandeng saya untuk program dongeng TV komunitas mereka, maka meluncurlah program DORA dengan penuh suka cita.

2011
Saya tetap mendongeng

2012
Saya akan tetap mendongeng sampai -Insyaalloh-  tutup usia.

Itu kisahnya, lantas ilmu “cethek” yang ingin saya bagikan adalah sbb:
ð  Pertama kali yang harus dipunyai seorang pendongeng :
1.       NIAT.
Ada banyak teman sepantaran sayadi dunia pendidikan anak  yang selalu mengatakan tak bisa, maka saya tak hendak banyak kata tapi meniatkan bahwa SAYA BISA!
2.       MAU MENCOBA.
Tak ada salahnya mencoba, grogi, demam panggung, dan banyak kekhawatiran lain yang harus dienyahkan. Cobalah apapun hasilnya.
3.       PERCAYA DIRI.
Percaya Diri adalah setengah keberhasilan, dengan PD kita akan mampu melewati tantangan dan hambatan dalam mendongeng.
4.       MULAI BERAKSI
Mulai sekarang juga, jangan tunggu menjadi ahlinya karena kita akan terus belajar di sepanjang perjalanan kita.

ð  Kedua kalinya adalah mempersiapkan diri dengan :
1.       Menguasai cerita dan jalan ceritanya.
5W 1H, yuk disimak!
- What?
Apa yang kita sampaikan pada audiens? Cerita atau dongeng, dan tentang apa?
- Who?
Siapa yang ada di depan kita? Anak TK, SD, atau bahkan SMP? Libatkan mereka dalam cerita
- Where?
Dimana kita menyampaikannya? Sekolah, even lomba, TPQ? Pasti akan berbeda cerita yang akan kita sampaikan pada mereka.
- Why?
Mengapa kita menyampaikannya, mengenalkan karakter yang baik, menanamkan nilai tanpa sadar, memberi contoh tanpa menggurui, dst.
- How?
Bagaimana menyampaikannya? Tanpa peraga, dengan peraga, dengan buku teks. Akan berbeda pula cara menyampaikannya.

2.       Mengolah karakter suara
Ada banyak yang mengajarkan setidaknya kita menguasai 5 karakter suara, maka bagaimana cara memperoleh dan menguasainya?
1.       Suara asli kita, asal kita punya suara pasti bisa bercerita.
2.       Suara kecil, bisa kita kelola dengan mengecilkan suara dengan menjepit pita suara di tenggorokan (begitu kali ya? Yang pasti saat suara kecil saya tenggorokan serasa disempitkan ^_^)
3.       Suara besar, bisa kita peroleh dengan pernafasan perut dan mengembangkan pita suara.
4.       Suara Kakek dan Nenek, bisa kita peroleh dengan memasukkan semua bibir ke dalam mulut.
5.       Suara binatang, bisa kita kelola dengan mengenal suara aslinya lebih dulu
6.       Selamat berlatih

3.       Memperhatikan intonasi suara
Intonasi adalah lagu suara, menguasai lagu suara sangat membantu menghantar sebuah cerita/dongeng dengan menarik, naik turun! Berbisik dan berteriak jelas berbeda. Berbicara lembut dan kasar juga berbeda.

4.       Mengelola ekspresi wajah dan tubuh
Ekspresi mengajak anak menghayati alur cerita. Bagaimana mengelola  wajah sedih dengan sikap tubuh yang mendukung. Menampilkan wajah ceria dengan sikap tubuh yang mempesona, dan banyak lagi lainnya! Semua itu akan mengajak anak “mengalir” bersama cerita kita,

5.       Praktekkan dengan hati dan cinta
“Hati” akan berbicara tentang hal baik dan indah, “cinta” memberikan segalanya tanpa syarat, maka inilah pendongeng yang tepat untuk anak-anak.

6.       Improvisasi dan Inovasi
Bekali dengan banyak lagu dan tepuk, sesuaikan dengan cerita, dan bersiaplah untuk banyak tantangan meskipun di depan penyampaian dongeng kita sudah memberi aturan ^_^.

7.       Selamat mencoba ^_^

Ada banyak kekurangan dalam tulisan ini maka maafkanlah yang kurang dan ambillah yang baik dan bermanfaat. Mungkin Bunda Wiwik “dongeng” Puspitasari dapat menambahkan dengan lebih baik dan lebih banyak. Karena beliau telah beberapa kali menyabet gelar pendongeng Nasional ^_^.
Selamat mencoba teman-teman, sungguh saya menyukai dunia anak sepenuh “hati” dan cinta.