Ketika Alloh “menegur”-ku
Selasa, 28 Agustus 2012
Hari ini tak ada yang istimewa, seperti
hari-hari biasa yang kulewati dengan segala ragam kesenangan dan “tekanan” yang
biasa pula kurasakan.
Pagi setelah membersihkan sekolah di tempatku
mengabdikan diri, pulang ke rumah berkutat dengan setumpuk pekerjaan rumah
tangga, dan di tengah hari bersiap dengan perjalanan untuk “takziyah” di daerah
Beji – Batu.
Kami pun meluncur bersama kedua saudara
perempuanku dan Mamaku, bertakziyah sebentar dan aku pun memilih melanjutkan
sendiri karena akan ada acara bersama keluarga suami ba’dha Maghrib, menuju
alun-alun kota Malang.
Turun dari LDG, aku bersiap memasuki masjid
Jami’ kota Malang, meniatkan hati untuk sholat Ashar. Kugandeng tangan si kecil
dengan penuh pengharapan bahwa kelak ia akan mencintai masjid dan akan menjadi
satu dari sekian hambaNYA yang memakmurkan masjid, amin Insyaalloh….
Tidak satu atau dua kali, berkali-kali kami
sholat di masjid itu dan tak terjadi apa-apa, namun hari itu….
Anakku mulai menunjukkan gejala akan pipis,
kutarik ke belakang ternyata kata pengunjung lain toilet pindah ke dekat ruang
wudlu, kuseret anakku dengan cepat sambil memberikan motivasi, “sabar, tahan! Sedikit
lagi….”
Dan….
Jebollah pertahanan anakku hingga dia pipis di
celana, aku kaget dan tercenung sejenak, dia “ngompol” di dekat kotak untuk
membasuh kaki di garis luar yang dekat tempat peminjaman mukena.
Dengan sigap aku berlari ke pengurus masjid
yang menjaga mukena dan berkata, “Ma’af, anak saya pipis di dekat kullah, apa
yang harus saya lakukan untuk membersihkannya?”
Panik! Itu yang saya rasakan….
Di saat panik itu saya dengar satu suara
ibu-ibu penjaga kamar mandi, “Bu, anaknya ngompol di masjid, najis! Bikin najis
semesjid dan blab la bla bla….”
Sampai saya dengar ‘adzab Alloh dibawa-bawa. Maka
saya pun meledak! Saya menangis di depan orang se-mesjid, dan masih ditambah
lagi,“Nguras iku seng soro, makanya kalau punya anak kecil dijaga, jangan
sampai ngompol di masjid!”
Saat itu saya marah, saya pandang orang itu,
saya yang tak pernah suka bertengkar akhirnya menyahut, “Saya akan tanggung
jawab membersihkannya, dia anak saya, marahi saya saja! Nggak usah adzab Alloh
dibawa-bawa!”
Namun ada suara baik menolong saya, “Bu, saya
bantu…. Anaknya diurus dulu. Dilepas celananya masukin kresek dan dicebokin.”
Saya bawa si kecil masuk ke tempat wudlu, saya
lepas celananya sambil terus menangis (entah apa yang saya rasakan saat itu….).
Saya cebokin dan berpesan, “Kamu diam disini sampai bunda kembali….”
Entah teguran apa yang dilewatkan Alloh melalui
mulutnya, wanita itu terus menceracau di ruang wudlu.
“Demi Alloh, saya kesini berniat sholat. Dan tak
ada kesengajaan anak saya buat pipis sembarangan.”
Saya pun kembali ke kullah tempat si kecil tak
sengaja ngompol. Seorang ibu yang baik telah membantu saya menyiram bekas pipis
si kecil, saya bilang “Maaf Bu, dia anak saya biar saya bertanggung jawab.”
Akhirnya si Ibu yang baik memberikan selang air
dan sikat pada saya. Saya pun bekerja dengan deraian air mata, …. Adzab Alloh? Apa
hubungannya dengan si kecil pipis (tanpa sengaja) sama adzab Alloh? Telinga saya
panas, begitu juga dengan hati saya. Ibu yang menegur dengan cara “tak ramah”
(semoga Alloh mengampuni kita, menjernihkan hatiku yang panas karena dipantik
kata-katanya)
Seorang Bapak pengurus masjid jami’ agung kota
Malang datang dan bertanya, “Ada apa?”
Saya yang sedang panas hati menjawab, “Anak
saya pipis tanpa sengaja dan saya akan bertanggungjawab membersihkannya, cukup
ajari saya gimana membersihkan kullah ini.”
Mungkin karena hawa “panas” yang saya bawa,
bapak itu pun menjawab, “Bu, ini rumah Alloh jangan marah-marah disini! Ibu ini
dibantu kok malah marah-marah?”
“Caranya menegur yang saya tidak terima!” tukas
saya cepat.
Setelah selesai dengan menyiram bekas pipis si
kecil dan menguras kullah dengan perasaan tak karuan, akhirnya Bapak pengurus
masjid itu berkata, “Sudah Bu, ditinggal aja biar kami yang menyelesaikan.”
Dengan perasaan malu tak karuan saya kembali
pada si kecil, ada keinginan memarahinya, namun saya takut itu akan mengecilkan
hatinya dan membuatnya “trauma” masuk masjid. Bagaimana mungkin seorang muslim
trauma masuk masjid karena kejadian “sepele” seperti itu? Ya, taruh kata bukan
sepele, bukankah ada cara yang lebih baik untuk mengingatkan saya sebagai
ibunya?
Akhirnya setelah bicara panjang lebar dengan si
kecil, si kecil saya pakaikan jaket saya yang kebesaran untuknya sambil
berusaha menenangkannya. Beruntung dia tidak menangis kencang karena akan
menambah kepanikan saya. Sesekali dia menatap saya dengan pandangan “memelas”
yang menghancurkan hati saya sebagai bundanya.
“Malu….” Dia terdiam sebentar dan kembali
berkata, “malu….”
“Kakak anaknya Bunda, apa pun itu Kakak anaknya
Bunda. Ayo sekarang kita pergi dari sini dan tunggu ayah jemput kita di
alun-alun.
Dengan tanpa celana si kecil saya gendong
keluar dari ruang wudlu (alhamdulillahnya auratnya tertutup karena memakai
jaket saya yang gedombrongan). Saya harus menjauhkannya dari pandangan orang
lain yang akan menghancurkan konsep dirinya. Saya keluarkan uang, “Saya ganti
rugi jika saya dianggap merugikan, saya minta maaf Pak! Mungkin hari ini saya
tak boleh sholat disini.”
“Disini rumah Alloh, jangan marah-marah, Bu!”
“Saya tahu, yang saya tidak terima cara menegur
saya, tidaklah perlu sampai adzab Alloh dibawa-bawa.”
Saya pun pergi, ibu itu (siapa pun nama Anda),
apa tak pernah punya anak kecil? Tapi terimakasih telah membantu saya menangis
dan kembali berkaca tentang “kedirian” kita sebagai hamba.
Bandingkan dengan ini….
Di toko buku, saya pernah melihat seorang anak
mengompol, ibunya membersihkan bekas ompol si anak dan penjaga toko tanpa
banyak bicara melanjutkan dengan mengepel lantainya.
Di sekolah, ketika seorang anak menangis malu
karena mengompol seorang guru menenangkannya dengan kasih sayang, membantunya
membersihkan diri dan memberikannya pakaian ganti.
Di masjid? Tak seorang pun membantu anak saya
ketika harus berdiri sendiri di ruang wudlu (bahkan saya khawatir ibu itu pun
masih menceracau di depan si kecil), apakah kita sudah muslim Bu?
Di alun-alun….
“Kenapa bisa kakak pipis di celana?”
Si kecil hanya menjawab patah-patah, “Malu….
Malu….”
Hatiku semakin hancur melihatnya. Sekuat mungkin
kutahan aku tak boleh marah, ini pengalaman pertama kami mengalami hal ini.
“Bunda nangis?”
“Bunda sedih, malu karena tak bisa mengurus
kakak dengan baik….”
“Aku malu….”
“Kalau malu kenapa tak bisa (ngempet) menahan?”
“Aku sudah gak kuat….”
Maka tanpa mampu kubendung, maka menangislah
sepuas-puasnya tanpa memperdulikan pandangan orang yang lalu lalang.
Maka hikmah itu….
Tak ada seorang pun yang menyiapkan diri untuk
sebuah “teguran”, maka setelah semalaman “menangis” sambil mengaca diri, maka
saya putuskan menulis kisah ini dan berbagi disini agar pengalaman saya ini
bisa jadi “pelajaran” buat semuanya.
Untuk saya, semoga saya lebih berhati-hati
menjaga si kecil dalam masa perkembangannya.
Untuk teman-teman lain juga.
Untuk pengurus masjid semoga bisa menegur “pelaku”
(anggap saja begitu) dengan lebih sopan dan beradab. Semoga Alloh memberikan
ampunan buat saya (jika belum layak menyematkan predikat sebagai Bunda), buat
siapapun yang membaca ini semoga kita termasuk hamba yang senantiasa mengambil
hikmah positif dibalik setiap kejadian.
See u at the other story, Insyaalloh J