Ahad, 30 Oktober 2011
at my lovely home with
blue heart J
“Pelajaran Istimewa”
Tetesan pertama untuk sebuah kata
“kecewa”, andaikata “kecewa” itu yang mengalami kita, maka akan mudah bagi kita
untuk cepat menyikapinya (benarkah?), akan tetapi “kecewa” ini membawa nama
lembaga, membawa nama orang lain, sungguh mengharukan bagaimana harus
mengelolanya menjadi sebuah “pelajaran istimewa”.
Berawal dari mata
Indahnya tatapmu
mengapa harus resah
Berawal dari kata
Indahnya sapamu
Mengapa harus gundah
(kahitna….)
Menghibur diri kenapa kita “jatuh
cinta” pada anak – anak J.
“Maafkanlah Bunda anakku, karena
mispersepsi Bunda engkau tak mampu membuktikan bahwa kau yang terbaik dalam
lomba kali ini, tidak apa – apa, percayalah ada ‘takdir’ terbaik yang tengah
menunggumu…. Bersabarlah dan terus asahlah potensimu, karena kau tak pernah
tahu kemana ‘waktu’ akan membawamu J….”
Ya! Karena “kengototan” Bunda
dalam mengartikan betapa luasnya cerita pengalaman anak, bukankah mendengar
dongeng dan menceritakan kembali adalah bagian dari cerita pengalamanmu, namun
ternyata sekali lagi ada “pakem bahasa” yang Bunda tak begitu menguasainya
hingga harus berakhir “kecewa” bagi kita semua. Bunda berterimakasih atas
penampilan terbaikmu, Bunda yakin kami semua “berhutang banyak padamu”, sebuah
pelajaran istimewa J
Duhai anakku kemana resah ini
akan membawaku?
“Bagaimana ini Bu Guru, anakku
telah memberikan penampilan terbaiknya, tapi tak ada satu pun tropi penghargaan
dibawanya?”
Wahaiiii…. Andai saja Bunda mampu
memutar waktu, akan Bunda cari tahu detail petunjuk teknis penilaian lomba yang
kau ikuti, hingga engkau mampu terus melaju (ataukah “ego” Bunda dan
orangtuamu?). Astaghfirullohal ‘adhiiim….
Inilah curahan hati Bunda untukmu….
Lomba akan dimulai, hati Bunda
berderap kencang saat melihatmu dan orangtuamu yang tengah menunggu, penuh
harap dan penuh “rindu”. Bunda sangat tahu apa yang kau rasakan, Bunda pun
masih sering mengalaminya, “rindu” untuk maju dan tampil menjadi pengendali
suasana meski hanya sejenak untuk mengisi waktu.
Maka para juri pun memasuki
ruangan, Bunda berusaha masuk, namun hanya sebagian peserta bernomor awal dan
pendamping yang boleh masuk, maka mulailah Bunda “menguping”.
Petunjuk teknis dibacakan secara
detail, dan remang – remang telinga Bunda menangkap, “…. Cerita adalah murni
pengalaman anak, dengan bahasa anak – anak….”
Maka lemaslah seluruh persendian
Bunda mendapati perkataan itu, Bunda berusaha jumawa, biarlah kita tak sesuai
kriteria mereka tapi kita tetap memberikan yang terbaik yang kita bisa (ah,
anakku… itu adalah usahamu….)
Bunda pun mendekatimu, “Nak,
jangan berfikir tentang kalah atau menang, hanya berikan penampilan terbaikmu,
Bunda yakin kamu bisa!”
Kamu pun mengangguk – angguk
lucu, debur nafas Bunda semakin kencang berharap waktu segera berlalu dan
menunjukkan “takdir” yang berlaku atasmu.
“Ibu…. Capek!” ujarmu mulai merengek
pada orangtuamu.
Mereka pun menghiburmu, masih
beberapa nomor lagi giliranmu, Bunda lihat kau begitu capek dan lesu, “Begitu
selesai tampil Bunda akan memberikan hadiah untukmu, mau?”
Kau pun mengangguk – angguk
senang, Bunda pun berusaha tenang di tengah rengekan zakki yang terus terusan
meminta mainan.
Melihat zakki yang terus
merengek, melihat wajahmu yang begitu capek, maka Bunda pun bergerak mencarikan
mainan untuk zakki dan mainan pesananmu sebagai hadiah penampilanmu, setelah
mendapatkan apa yang Bunda cari, Bunda pun kembali ke tempatmu.
“Lihat, hadiah untukmu sudah
Bunda pegang, berikan yang terbaik ya sayang….”
Kulihat bintang berpendar,
wajahmu bersinar dan kulihat semangatmu kembali “menyala”, masuk dalam ruangan,
dan setelah beberapa nomor kau tampil dengan begitu “prima”, saying Bunda tak
mampu menyaksikannya dengan sempurna.
Selesai tampil Bunda mulai
memberikan pengertian pada orangtuamu….
Duhai anakku, apapun yang kita
lakukan tak harus selalu dibayar “tropi” kemenangan, saat kau mampu
menyelesaikan apa yang telah kau mulai, maka itulah hakiki-nya juara.
Dialog Bunda dengan Orangtuamu
“Putri Ibu telah memberikan yang
terbaik, urusan menang kalah itu hak prerogatif juri yang juga menjadi “takdir”
Alloh apakah nanti kita bisa ke Surabaya atau pun tidak J”
“Tapi Bu, dari semua penampilan,
putri saya yang terbaik, semua mengakuinya, jadi bagaimana mungkin dia bisa
kalah?”
“Kalau kita pakai juri “potlot”
mungkin kita bisa menang, tapi juri ini sudah ahli di bidang bahasa yang
memiliki “pakem” sendiri yang saya pun tidak faham karena saya bukan ahlinya J.”
“Saya yakin kita pasti bisa ke Surabaya,
Bu!”
“Insyaalloh! Jika takdirnya ke Surabaya
kita pasti akan ke Surabaya J.”
“Dari segi apa anak saya bisa
kalah, Bu?”
“Setiap lomba yang saya ikuti,
saya hanya punya bekal berani tampil dan mencoba memberikan yang terbaik,
urusan menang atau kalah bagi saya hanya efek samping saja. Sering saya tampil
dan menurut para penonton penampilan saya yang terbaik, tetapi sering juga saya
bertanya, kenapa saya tidak mendapat nomor sedikit pun? Dan sampai saat ini hal
itu menjadikan perenungan saya J.”
“Insyaalloh menang, Bu!”
“Amiiin….” (dengan hati yang
mengambang)
Pengumuman tiba, namamu taka da di
urutan para juara. Oh anakku, tropi bukanlah segala – galanya, asal kau telah
memberikan yang terbaik maka itulah juara sesungguhnya.
(Part one J)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya