Jumat, 28 November 2014

Cerpen "Akas Pembuat Mokas"



Akas Pembuat Mokas

“Pak, aku ikut ya?” rajuk Akas.
Bapaknya menggerenyitkan dahi sambil memandang curiga.
“Kamu mau bolos sekolah?”
“Enggak! Nanti aku bawa baju ganti terus langsung sekolah!” ujar Akas menegaskan alasannya.
Bapak yang menyiapkan keranjang di boncengan belakang sepeda ontelnya menghela nafas panjang. Dipandangnya Akas dengan pandangan sayang.
“Kamu nggak malu? Bagaimana kalau teman – temanmu meledekmu?”
“Tidak apa – apa, Pak. Akas bangga kok jadi anak Bapak.”
Bapak tersenyum senang. Iya, siapa yang tak bangga mempunyai Bapak seperti Pak Nardi, seorang pemulung yang baik hati. Bukankah dengan menerima segala sampah rumah tangga berarti ikut menjaga kebersihan dunia?
“Baiklah, tolong ambilkan bekal makan siang Bapak di Emak, sekalian minta tambah buat jatahmu nanti.” Timpal Bapak cepat memberi perintah..
“Siap, Pak!” tukas Akas ceria.
Bergegas Akas mencari Emak di dapur dan menyampaikan pesan Bapak. Emak juga sempat khawatir dengan keinginan Akas ikut Bapak memulung hari itu, namun setelah melihat keteguhan Akas, Emak pun mengangguk – anggukkan kepalanya dengan haru.
*****
Pernah satu kali ketika baru masuk SD, Akas pulang dengan airmata berderai. Ketika Emak bertanya kenapa? Ada temannya yang meledeknya sebagai anak tukang rombeng. Sejak saat itu Emak sepakat dengan Bapak untuk tak lagi mengajak Akas pergi memulung.
“Boleh Emak tahu kenapa kamu pengen ikut Bapak, Nak?”
“Kata Bu guru, kita harus bangga dengan pekerjaan orangtua kita, karena dengan pekerjaan itulah orangtua kita menghidupi keluarga kita. Akas pikir apa salahnya Akas ikut untuk membantu Bapak memulung.”
Emak mengangguk senang. Akas sudah kelas tiga. Setiap hari ia juga membantu menyortir sampah di rumah, namun kalau ikut? Baru kali ini Akas mencetuskan keinginannya sejak masuk Sekolah Dasar.
“Boleh Emak tahu sebenarnya kamu ingin apa?” Tanya Emak sambil menghulurkan bekal makan siang.
Akas tersenyum, “Emak ngerti ya?”
Giliran Emak yang terkejut, “Tebakan Emak benar, ya? Kamu ingin sesuatu makanya pengen ikut Bapak.”
“Akas pengen bisa nyari uang sendiri. Akas ingin punya mobil-mobilan.”
Bibir Emak membulat, Akas tersenyum dan berlari keluar.
“Jangan bolos sekolah!” Terdengar teriakan Emak mengejar Akas.
*****
“Kardus bekas air kemasan sekilo berapa, Pak?” Tanya seorang ibu berbadan lebar sesaat setelah Bapak memenuh panggilannya.
“Sebelas ribu!”
“Apa gak bisa lima belas?”
“Hwaduh Bu, coba dibawa sendiri aja ke gudangnya Pak Karto!”
“Ya, sudah! Sebelas juga gak apa-apa. Sudah sumpek rasanya lihat banyak kardus berserakan.”
“Ditimbang dulu kardus bekasnya, Bu!”
Bapak sibuk mengumpulkan kardus dan mengikatnya, setelah itu Bapak mengeluarkan timbangan dan mulai menimbang.
“2 kilo, Bu!”
“Aduh, enam belas kardus kok Cuma dua kilo, sih!”
“Rata – rata sekilo berisi enam sampai delapan kardus bekas air kemasan, itu tergantung dari tebal tipisnya kardus, Bu! Mau atau tidak saya bayar dua puluh dua ribu?”
Akhirnya kardus bekas itu pun berpindah tangan ke Bapak. Akas menghitung, dua puluh dua ribu dikeluarkan Bapak untuk dua kilo kardus bekas.
“Kalau di gudang Pak Karto laku berapa, Pak?”
“Sekilo  lima belas ribu!”
Akas menghitung dalam hati, lima belas ribu dikurangi sebelas ribu, sisa empat ribu rupiah, kalau dikali dua jadi delapan ribu. Aduh! Truk mainan yang seperti punya Rizki itu harganya tiga puluh ribu. Hasil kerja Bapak berapa lama untuk beli mobil truk itu.
Setengah hari Bapak mengajaknya berkeliling, setelah setor ke gudang Pak Karto, Bapak mengajaknya sholat dhuhur di dekat sekolahnya sambil menghabiskan bekal dari Emak.
“Makan yang banyak biar kenyang, nanti di sekolah kamu tak perlu jajan lagi!”
Akas memandang Bapak dengan sayang, setengah hari menemani Bapak, mereka dapat uang delapan ribu. Ah, selamat tinggal mobil truk!
“Boleh Bapak tahu apa yang kamu pikirkan?”
“Sebenarnya Akas ingin punya mobil truk, tapi Akas sadar itu tak mungkin, Harganya mahal kan Pak?”
Bapak termenung, seutas senyum terbit di sudut bibirnya. “Bagaimana kalau besok Bapak mengajarkan sesuatu padamu?”
“Mau, Pak! Mau!”
“Sekarang waktunya kamu pergi sekolah. Bapak harus mengumpulkan bahan – bahannya.”
*****
Keesokan pagi Bapak dan anak itu asyik mengerjakan sesuatu di teras rumah. Ada kardus bekas televisi yang cukup tebal, ada pisau, lem, bekas stik mi, dan plastik mika tebal bekas tempat kue.
Setelah membuat pola, Bapak mulai memotong kardus, menempel dengan lem, dan sungguh cekatan. Bapak selesai dalam waktu satu jam. Terlihat mobil truk dari kardus bekas karya Bapak. Akas tersenyum senang!
“Aku akan belajar membuatnya, Pak. Nanti aku jual ke teman – temanku, boleh?”
Bapak tersenyum mengamini ucapan Akas. Sejak saat itu Akas terkenal sebagai pembuat mokas (mobil kardus bekas) di antara teman – temannya. Banyak teman yang memesan padanya untuk dibuatkan mobil serupa. Akas menjualnya dengan harga lima belas ribu rupiah. Kalau bahannya menghabiskan kardus satu dengan harga dasar dua ribu, bukankah Akas sudah belajar menjadi seorang pengusaha mokas?

1 komentar:

ya