Minggu, 05 Desember 2010

catatanku saat mengajar

Ketika kita lupa ‘menyenangkan’

Suatu saat saya mengajar dan menyampaikan apa yang akan dipelajari anak – anak tentang rekreasi, saat ada pilihan aktivitas belajar menulis dengan crayon, menggambar bebas, dan bercerita, seorang siswa saya berteriak “Tidak mauuuuu!!!”

Saya dekati dia dan mengajaknya berdialog, “Hari ini mau mengerjakan apa sayang?” dengan lembut saya menanyainya, dia tetap berteriak tidak mau dan tidak mau. Akhirnya dengan bijak saya berkata, “Baiklah, bu guru kasih kesempatan mas untuk berpikir aktivitas apa yang akan mas kerjakan.”

Biasanya senjata ini ampuh, namun hari itu saya gagal, dia tidak beranjak kemana – mana, dia sibuk bermain puzzle. Satu hari berlalu….

Keesokan harinya dia tidak mau ‘terlibat’ aktivitas bersama teman lagi, dia asyik mewarnai buku mewarnanya, kembali saya merasa ‘gagal’, what’s up with me? Are there something wrong? Saya coba komunikasikan kejadian ini dengan wali muridnya, memang dia ‘sedikit’ berulah di rumah, dan pengasuhnya pun tidak tahu kenapa?

Alhamdulillah Alloh tidak memberikan jawaban ‘kenapa’ itu terlalu lama. Pada hari ketiga saya lihat dia mulai ‘tertawa’ mendengarkan saya bercerita, saatnya untuk ‘masuk’. Setelah selesai bercerita saya dekati dia dan mulai membuka dialog.
“Mas, boleh bu guru bertanya?” Tanya saya berusaha ramah.
“Boleh! Boleh!”
“Ada yang lucu, ya?”

Sekali lagi siswa saya itu tertawa terbahak – bahak sambil berkata, “Bu Guru lucu!” beberapa kali. Ow, saya lucu? Apa beberapa waktu ini tidak? Kenapa dia harus menunggu selama beberapa waktu baru bias tertawa bersama teman – temannya?

Akhirnya dengan proses bercanda dan tertawa saya menemukan jawabannya, “Bu guru kemarin tidak menyenangkan!” cetusnya dengan sangat polos. Wow! Saya tidak menyenangkan? Itu satu hal yang terabaikan, saya tidak ‘menyenangkan’? itu adalah kritikan yang ‘menggugah’ saya, padahal -maaf- jika disurvey insyaalloh seluruh wali murid saya akan mengatakan bu dewi menyenangkan dan sangat ‘menggugah’ semangat anak – anak untuk beraktivitas bersama. Dan semestinya-lah seorang guru TK harus selalu seperti itu.

Saatnya ‘muhasabah’ diri….

Hari – hari yang sibuk dan penuh tuntutan pasti dihadapi oleh semua orang tak terkecuali guru TK, tuntutan datang tidak hanya dari profesi namun dari segala sisi kehidupan, dan itu-lah yang saya rasakan beberapa waktu lalu, rasa cemas dan takut tak mampu memberikan ‘yang terbaik’ buat anak – anak, terlebih lagi buat ‘buah hati’ saya sendiri, alhasil bukannya semakin baik kinerja saya, namun justru semakin ‘menekan’, ada keinginan kecil untuk lebih ‘memperhatikan buah hati’, konsekuensi-nya? Melepaskan kesenangan dan kecintaan saya terhadap dunia anak – anak (paling tidak untuk sementara waktu). Disisi lain saya berusaha keras menemukan ‘penyebab’ kenapa saya begitu ‘tertekan’ dan bagaimana menyiasati hal tersebut?

Jangan dikira dengan saya mengatakan tertekan terus kita tidak professional menjalankan profesi ‘penuh berkah’ ini, tidak! Hanya ada waktu – waktu ‘tertentu’ alarm ‘tanda bahaya’ itu berbunyi. Bila sudah demikian, saya akan menyibukkan diri mengerjakan gambar saat anak – anak sibuk dengan aktivitasnya. Saya yakin setiap guru TK pernah mengalaminya, dan pasti jawaban mereka sama, saat bersama anak – anak sebesar apa pun beban kita, maka kita pun ‘ada’ bersama mereka. Dan itu membuat saya ‘connect’ dengan dunia mereka.

Akhirnya saya sadar sepenuhnya bahwa anak kecil pun bisa ‘membaca’ kita orang dewasa. Sejak itu saya kembali menemukan ‘semangat’ saya yang hampir ‘padam’ (apology-nya sih, bukannya hendak padam, tapi kerlip – kerlip di kejauhan ).

Baiklah pembaca, rekan guru yang tanpa tanda jasa, para bunda dan ayah, dengan bercermin pada kisah saya mari kita ambil hikmah bahwa apa pun yang kita komunikasikan dengan anak, carilah cara yang ‘menyenangkan’, insyaalloh mereka akan paham dan bias bekerjasama dengan kita.

Perlu diingat ‘menyenangkan’ itu sangat berbeda dengan ‘memanjakan, menyenangkan itu antara lain sebagai berikut:
1. Mengerti sisi psikologi anak yang diajak bicara, karena tidak semua anak memiliki latar belakang yang sama. Masing – masing anak memiliki latar belakang yang berbeda, dan bias jadi ada yang bertolak belakang.
2. Memahami karakter anak, dengan membaca saat tepat untuk masuk dan berkomunikasi, ada saat dimana dia tidak mau diganggu, ada saatnya dimana dia bias dengan terbuka berkomunikasi dengan kita.
3. Menjelaskan secara jelas tentang aktivitas apa yang kita tawarkan, memberikan pengertian akan fungsi dan tujuannya, dan harapan kita kepadanya. Semua pasti ingin anaknya menjadi ‘orang hebat’, kan?
4. Ajari mereka untuk ‘mendengar’ dengan ‘mendengarkan’ mereka.
5. Ajari mereka dengan ‘hati’ dan cinta.
Akhirnya, pada siapa pun yang perduli akan nasib pendidikan di negeri kita saya ucapkan, “Selamat berjuang mencerdaskan bangsa, selamat hari kartini ”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ya