Jumat, 04 Februari 2011

Catcil Friend

catatan kecil untuk seorang teman

by Dewi Mora Rizkiana on Wednesday, December 8, 2010 at 8:00pm


Ada Apa Dengan Pernikahan?


Kutulis notes ini untuk saudaraku yang akan menikah dan yang telah menikah, harapanku agar yang belum menikah bisa meneropong kembali niatnya untuk menikah dan yang sudah menikah dapat mengambil hikmah dari notes ini.

Menikah itu ibadah….


Semua tahu akan slogan itu, tapi hanya sedikit yang mampu memahami dan menerapkannya. Pun juga diriku, tergeragap, jatuh bangun, dan pada akhirnya tenggelam, nah lho! Tenggelam dalam tugas dan kewajiban, kwek!


Banyak temanku curhat tentang pernikahan (pun juga aku) di saat menjelang hari yang paling dinantikan itu tiba – tiba saja muncul begitu banyak pilihan, lha selama ini mereka kemana? Sekian lama men-“jomblo” ujug – ujug “multiple choice” terpampang di depan mata.


Kisah ini juga dialami oleh seorang temanku yang akan menikah di awal tahun ini.


“Bagaimana Bun, aku kok terkiwir – kiwir sama cewek lain, padahal prosesku sudah berjalan….” Curhatnya.


Ya, proses berkenalan dan pada akhirnya meminang. Dan tinggal menunggu hari yang ditentukan. Alhasil dia kini sempoyongan mempertahankan keyakinannya untuk terus berada dalam ikatan pertunangan.


“Memangnya kenapa tidak disegerakan saja?”

“Kan harus nabung dulu!”


Hmmmm…. Biaya pernikahan semakin mahal-kah? Atau tuntutan seputar pernikahan itu yang mahal? Just think about your self!


“Bun, beri aku masukaaaaaan….”

“Apa kata hatimu? Jangan hanya nafsu!”

“Sama beratnya, semua punya kelebihan sendiri – sendiri….”


Sebenarnya banyak buku yang mengupas tuntas seputar kisah ini, hanya tak semua orang suka membaca, mereka lebih suka mendialog-kan apa yang tengah mengganjal hati mereka.


Dan berdasar apa yang sudah – sudah dalam pengamatan saya bahwa pernikahan memang membutuhkan ‘hati’ namun tak selalu harus menurutkan kata hati (betul, kan?).


Menikah adalah berbagi beban dan tanggung jawab, itu kesimpulan saya dengan riset sekedarnya (deu, layaknya peneliti aja ya? Hehehehehe!)


Dengan berbagi beban dan tanggung jawab maka akan terpenuhilah apa kata pepatah “berat sama dipikul, ringan sama dijinjing” yang akhirnya akan membentuk harmoni tersendiri di dalam sebuah keluarga. Setiap keluarga tak mungkin memiliki harmoni yang sama, kan?


Memang tidak ada larangan untuk menikah karena senang atau cinta atau apa pun alasan lain sesuai dengan kata hatinya, hanya saja meskipun kata hati kalau tidak ada “hati” disana apa ya akan bahagia?


Kebahagiaan itu relative, bagaimana pun tugas dasar kita sebagai makhluk hidup adalah berkembang biak, bahkan Rosululloh Muhammad SAW bersabda bahwa beliau bangga dengan ummat yang banyak, tentu saja ummat yang banyak yang saling memberi manfaat.


Ku tak hendak menjadi “hakim” yang memutuskan yang menikah karena ini salah dan menikah karena itu betul, karena hakim itu telah ada pada masing – masing individu, karena hendak kemana rumah tangga yang dibentuk akan dibawa -kelak-, mungkin saat ini masih buta, atau memakai kacamata kuda, atau juga tengah berteman dengan babi hingga buta (hahahaha!), astaghfirullohal ‘adhiim….

Sehingga dengan “terbatas”-nya kita melihat sesuatu dan yang juauuh jadi hal kasat mata yang tak patut dipercaya, ck ck ck!


Menikah dan membentuk keluarga adalah sebuah ladang ibadah yang memerlukan orang – orang yang tangguh dalam mengelola, merawat, pun sekaligus memeliharanya. Keterampilan itu tidak didapatkan di sekolah – sekolah formal, keterampilan itu akan diperoleh di sekolah kehidupan yang tak pernah selesai. Kecuali saat sang Kholik memanggil kita pulang ke pangkuannya, innalillahi wa inna ilaihi roji’uuun….


Seumpama kemudian ada yang datang dan menurut hati kita lebih “sreg” sehingga membuat kita melepas opsi pertama demi opsi kedua, maka timbanglah dengan matang, “Apakah kita mau diperlakukan demikian?”, tak bisakah kita melihatnya sebagai sebuah ujian cinta dan kesungguhan yang sudah kita ikrarkan saat meng-khitbah siapa yang hendak kita nikahi.


Kalau pun pertanyaan itu tetap terlampaui, maka sekarang lihatlah opsi kedua dengan lebih baik, “Apakah agamanya lebih baik dari opsi pertama?”, -maaf- tanpa maksud mengkerdilkan antara satu dengan yang lain, “Apakah akhlaknya baik?” bukankah ADDIINU CHUSNUL CHULUK? – agama itu adalah akhlak yang baik J.

Jika terlampaui juga, maka mungkin memang itu partner kita untuk mengarungi kehidupan kita sebagai hamba sang pencipta di mayapada.


Baiklah saudaraku, sudahkah ada kesimpulan yang bisa kau petik dari catatanku ini?


Pada dasarnya semua orang ingin bahagia, namun kebahagiaan hakiki hanya saat kita berjumpa dengan-NYA kelak di hari yang ditentukan. Maka mulai sekarang rangkai-lah kebahagiaan dengan caramu agar DIA kelak mau memandangmu dengan pandangan cinta….


Ingat! Menikah itu berarti berbagi beban dan tanggung jawab, agar ringan-lah amanah kita sebagai khalifah fil ‘Ardli, sekarang kembali pada kita bagaimana mengartikan itu semua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ya